Minggu, 25 September 2011

Tauhid, Menggugurkan Dosa


Tauhid memiliki kedudukan yang sangat agung dan utama di dalam agama Islam, karena sesungguhnya tauhid merupakan inti ajaran Islam ini.
Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafirahimahullah- berkata, “Ketahuilah, bahwa tauhid merupakan awal dakwah seluruh para rasul, awal tempat singgah perjalanan, dan awal tempat berdiri seorang hamba yang berjalan menuju Allah.” (Minhatul Ilahiyah Fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 45).
Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyahrahimahullah- berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla telah mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya, menciptakan langit-langit dan bumi, agar Dia dikenal, diibadahi, ditauhidkan, dan agar agama itu semuanya bagi Allah, semua ketaatan untuk-Nya, dan dakwah hanya untuk-Nya.”
Kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat Al-Qur’an (Adz-Dzariyat: 56; Ath-Thalaq: 12; Al-Maidah: 97), lalu berkata, “Allah memberitakan bahwa tujuan penciptaan dan perintah adalah agar dikenal nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, hanya Dia yang diibadahi, tidak disekutukan.”  (Ad-Da’ wad Dawa’, hal:196, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit: Dar Ibnil Jauzi).
Oleh karena itulah, tidak mengherankan bahwa tauhid memiliki banyak sekali keutamaan. Di antara keutamaannya adalah bahwa tauhid menggugurkan dosa-dosa. Inilah di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut:
1- Dosa sepenuh bumi gugur dengan tauhid.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَأَزِيدُ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَجَزَاؤُهُ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا أَوْ أَغْفِرُ وَمَنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ ذِرَاعًا وَمَنْ تَقَرَّبَ مِنِّي ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَمَنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً وَمَنْ لَقِيَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطِيئَةً لَا يُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَقِيتُهُ بِمِثْلِهَا مَغْفِرَةً
Dari Abu Dzarr, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman, ‘Barangsiapa membawa satu kebaikan, maka dia mendapatkan balasan sepuluh kalinya, dan Aku akan menambahi. Barangsiapa membawa satu keburukan, maka balasannya satu keburukan semisalnya, atau Aku akan mengampuni. Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekat kepada-Ku sehasta, niscaya Aku mendekatinya sedepa. Barangsiapa mendatangi-Ku dengan berjalan, niscaya Aku mendatanginya dengan berjalan cepat. Barangsiapa menemui-Ku dengan dosa sepenuh bumi, dia tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Ku, niscaya Aku menemuinya dengan ampunan seperti itu.’” (Hadits shahih riwayat Muslim no. 2687; Ibnu Majah, no. 3821; Ahmad, no. 20853).
Dalam hadits lain diriwayatkan,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Dari Anas bin Malik , dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa kepada-Ku dan mengharap kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni untukmu dosa yang ada padamu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai awan di langit, kemudian engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menghadap-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian menemui-Ku, engkau tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Ku, niscaya Aku menemuimu dengan ampunan seperti itu.” (Hadits shahih riwayat Tirmidzi, no. 3540. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Hadits ini memuat tiga sebab untuk meraih ampunan Allah, yaitu: berdoa disertai dengan harapan, istighfar (mohon ampun), dan tauhid. Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali –rahimahullah- berkata, “Sebab ke tiga di antara sebab-sebab ampunan adalah tauhid. Ini adalah sebab yang terbesar. Barangsiapa kehilangan tauhid, maka dia telah kehilangan ampunan dari Allah. Dan barangsiapa menghadap Allah dengan membawa tauhid, maka dia telah membawa sebab ampunan yang paling besar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. An-Nisa’/4: 48, 116).
Maka, barangsiapa menghadap Allah dengan bertauhid, walau dengan membawa dosa sepenuh bumi, maka Allah akan menemuinya dengan ampunan sepenuh bumi juga. Tetapi ini bersama dengan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Dia menghendaki, Dia akan mengampuninya; Namun, jika Dia menghendaki, Dia akan menyiksanya dengan sebab dosa-dosanya. Kemudian, akhirnya dia tidak kekal di dalam neraka, namun akan keluar darinya, kemudian akan measuk ke dalam surga.” (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, juz 1, hal. 416-417, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Baajis, penerbit. Muassasah Ar-Risalah).
2- Sembilan puluh sembilan lembar catatan keburukan gugur dengan tauhid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ
Sesungguhnya, Allah akan membebaskan seorang lelaki dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat. Akan dibentangkan padanya 99 lembaran (catatan amal keburukan), tiap-tiap lembaran seukuran sejauh pandangan mata. Kemudian Allah bertanya, “Apakah engkau mengingkari sesuatu dari lembaran (catatan amal keburukan) ini? Apakah para (malaikat) penulis-Ku al-Hafizhun (yang mencatat) menzhalimimu?”
Maka, hamba tadi menjawab, “Tidak wahai Rabbku.” Allah bertanya lagi, “Apakah engkau memilik alasan?” Maka, hamba tadi menjawab, “Tidak wahai Rabb-ku.” Maka, Allah berfirman, “Benar, sesungguhnya di sisi Kami engkau memiliki satu kebaikan. Sesungguhnya pada hari ini engkau tidak akan dizhalimi. Kemudian, dikeluarkan sebuah bithaqah (karcis) yang bertuliskan: Asyhadu alla ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuluhu (Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah adalah hambaNya dan Rasul-Nya. Allah berfirman, “Datangkanlah timbanganmu.” Hamba tadi berkata, “Wahai Rabb-ku, apa (pengaruh) karcis ini terhadap lembaran-lembaran ini.” Maka, Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak akan dizhalimi.” Rasulullah bersabda, “Maka, lembaran-lembaran itu diletakkan di atas satu daun timbangan, dan satu karcis tersebut diletakkan di atas satu daun timbangan yang lain. Maka, ringanlah lembaran-lembaran itu, dan beratlah karcis tersebut. Maka, sesuatupun tidak berat ditimbang dengan nama Alah.” (H.R. Ahmad, II/213; Tirmidzi, no:2639; Ibnu Majah, no. 4300; dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh (wafat th 1285 H) –rahimahullah- berkata di dalam kitabnya Fathul Majid:
Barangsiapa mengatakan Laa ilaaha illa Allah dengan sempurna, yang mencegahnya dari syirik besar dan syirik kecil, maka orang ini tidak akan terus-menerus melakukan suatu dosa, sehingga dosa-dosanya diampuni dan diharamkan dari neraka.
Dan jika dia mengatakannya dengan sifat yang mencegahnya dari syirik besar, tanpa syirik kecil, dan setelah itu dia tidak melakukan perkara yang membatalkannya, maka hal itu merupakan kebaikan yang tidak bisa ditandingi oleh kejelekan apapun juga. Sehingga timbangan kebaikannya menjadi berat dengan hal itu, sebagaimana tersebut di dalam hadits bithaqah, sehingga dia diharamkan dari neraka, tetapi derajatnya di surga berkurang sekadar dosa-dosanya.” (Fathul Majid I/139-140, tahqiq Dr. Al-Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Aalu Furrayyan, penerbit: Majlis Islam Al-Asiawi).
Setelah kita mengetahui hal ini, maka hendaklah kita memperhatikan tauhid dengan sebenar-benarnya, memahaminya, dan mengamalkannya, sehingga kita meraih keutamaannya. Hanya Allah tempat memohon pertolongan.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari (Anggotad Dewan Redaksi Majalah As-Sunnah, Pengasuh Ma’had Ibnu Abbas As-Salafy, Masaran, Sragen, Jawa Tengah)

Pertanyaan Cerdas Sang Arab Badui



Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :
Amr bin Muhammad bin Bukair an-Naqid menuturkan kepadaku. Dia berkata; Hasyim bin al-Qasim Abu an-Nadhr menuturkan kepadaku. Dia berkata; Sulaiman bin al-Mughirah menuturkan kepadaku dari Tsabit dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dia mengatakan; Dahulu kami pernah dilarang untuk bertanya tentang apa saja kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh sebab itu kami merasa senang apabila ada orang Arab Badui yang cukup berakal datang kemudian bertanya kepada beliau lantas kami pun mendengarkan jawabannya.
Maka suatu ketika, datanglah seorang lelaki dari penduduk kampung pedalaman. Dia mengatakan, “Wahai Muhammad, telah datang kepada kami utusanmu. Dia mengatakan bahwasanya anda telah mengaku bahwa Allah telah mengutus anda?”. Maka Nabi menjawab, “Dia benar.” Lalu arab badui itu bertanya, “Lalu siapakah yang menciptakan langit?”. Beliau menjawab, “Allah.” Lalu dia bertanya, “Siapakah yang menciptakan bumi?”. Nabi menjawab, “Allah.” Dia bertanya lagi, “Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini dan menciptakan di atasnya segala bentuk ciptaan?”. Nabi menjawab, “Allah.” Lalu arab badui itu mengatakan, “Demi Dzat yang telah menciptakan langit dan yang menciptakan bumi serta memancangkan gunung-gunung ini, benarkah Allah telah mengutusmu?”. Maka beliau menjawab, “Iya.”
Lalu dia kembali bertanya, “Utusanmu pun mengatakan kepada kami bahwa kami wajib untuk melakukan shalat lima waktu selama sehari semalam yang kami lalui.” Nabi mengatakan, “Dia benar.” Lalu dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah telah memerintahkanmu dengan perintah ini?”. Nabi menjawab, “Iya.” Lalu dia mengatakan, “Dan utusanmu juga mengatakan bahwa kami berkewajiban untuk membayarkan zakat dari harta-harta kami?”. Nabi mengatakan, “Dia benar.” Dia berkata, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah yang telah menyuruhmu untuk ini?”. Beliau menjawab, “Iya.” Dia mengatakan, “Dan utusanmu juga mengatakan bahwa kami wajib berpuasa di bulan Ramadhan di setiap tahunnya.” Nabi mengatakan, “Dia benar.” Dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah telah menyuruhmu dengan perintah ini?”. Beliau menjawab, “Iya.” Dia mengatakan, “Utusanmu pun mengatakan bahwa kami wajib untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu melakukaan perjalanan ke sana.” Nabi menjawab, “Dia benar.” Dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah yang memerintahkanmu dengan ini?”. Nabi menjawab, “Iya.”
Anas mengatakan; Kemudian dia pun berbalik seraya mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahkan selain itu dan aku juga tidak akan menguranginya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau dia benar-benar jujur/konsisten niscaya dia akan masuk surga.” (Diriwayatkan juga oleh Bukhari dalam Kitab al-’Ilm, bab maa jaa’a fi qaulihi ta’ala, ‘Wa qul Rabbi zidni ‘ilman’, hadits no 63, lihat Shahih Muslim cet ke-4 Darul Kutub Ilmiyah 1427 H, hal. 29)
Di antara faedah hadits ini, adalah :
  1. Penetapan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
  2. Syariat itu berlaku apabila telah sampai ilmu kepada orang yang bersangkutan
  3. Adanya udzur/toleransi bagi orang yang belum sampai ilmu kepadanya
  4. Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran mengenai rihlah fi thalabil ilmi/menempuh perjalanan dalam rangka menimba ilmu agama
  5. Di dalamnya juga terkandung ajaran untuk kembali kepada para ulama dan sering-sering bergaul dengan mereka
  6. Kebanyakan orang arab badui itu tidak mengerti dan kurang sopan
  7. Orang arab badui saja mengerti bahwa alam semesta ini ada penciptanya, maka ini merupakan bantahan telak bagi para penganut paham anti tuhan atau athheis
  8. Di dalamnya juga terdapat bantahan bagi kaum yang meyakini paham wahdatul wujud
  9. Dzat yang menciptakan alam semesta itulah yang berhak untuk diibadahi
  10. Semestinya seorang murid menyusun pertanyaan dengan baik
  11. Tanya-jawab merupakan salah satu metode transfer ilmu yang paling bermanfaat
  12. Pembelajaran secara bertahap
  13. Ilmu sebelum berkata dan berbuat
  14. Bersumpah harus dengan menyebut nama Allah bukan dengan nama makhluk, dan hal itu pun dipahami oleh orang Arab Badui sekalipun
  15. Bolehnya bersumpah tanpa diminta
  16. Bolehnya mencari sanad yang lebih tinggi
  17. Di dalamnya juga terkandung ajaran untuk mengecek kebenaran suatu berita
  18. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping mmerintah, beliau juga diperintah
  19. Disyariatkannya mengutus utusan dakwah ke berbagai tempat
  20. Berdakwah harus dengan ilmu
  21. Tidak bolehnya taklid buta
  22. Wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
  23. Keharusan untuk taslim/pasrah kepada syari’at beliau
  24. Diterimanya hadits ahad dalam masalah aqidah maupun hukum dan beramal dengannya
  25. Shalat lima waktu itu dikerjakan secara berulang-ulang di setiap sehari semalam
  26. Hadits ini menunjukkan bahwa shalat witir tidaklah wajib
  27. Tidak adanya kewajiban pungutan pajak bagi setiap muslim
  28. Puasa Ramadhan wajib dikerjakan dis etiap tahunnya
  29. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kaum muslimin awam dari kalangan para muqallid adalah termasuk kaum mukminin, yaitu apabila mereka telah meyakini aqidah Islam ini dengan mantap dan tidak ragu-ragu
  30. Dengan menunaikan kewajiban syari’at maka seorang bisa masuk ke dalam surga
  31. Amal merupakan sebab masuk ke dalam surga, namun dia bukanlah harga tukar yang seimbang untuk surga
  32. Iman itu meliputi keyakinan, ucapan, dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang. Ini merupakan bantahan bagi Murji’ah, Jahmiyah, Khawarij dan Mu’tazilah
  33. Ibadah itu ada yang wajib dan ada yang sunnah
  34. Ibadah yang diwajibkan Allah itu beraneka ragam, tidak hanya satu macam
  35. Ibadah yang wajib ada yang bersifat harian, dan ada juga yang tahunan, bahkan ada yang sekali seumur hidup
  36. Hukum di dunia ditegakkan berlandaskan apa yang tampak/menurut zahirnya
  37. Masuk surga atau tidaknya seseorang ditentukan oleh Allah ta’ala yang hanya Allah yang paling mengetahuinya
  38. Surga itu benar adanya
  39. Hendaknya menyesuaikan antara ucapan dengan amal perbuatan
  40. Di dalamnya terdapat peringatan dari bahaya kemunafikan
  41. Yang akan masuk surga hanyalah orang muslim saja, orang kafir tidak berhak
  42. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan ahli hadits
  43. Hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang langsung belajar Islam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
  44. Hadits merupakan sumber ajaran Islam selain Kitabullah
  45. Hadits merupakan penafsir bagi al-Qur’an
  46. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya aqidah
  47. Aqidah merupakan landasan penegakan hukum, untuk individu maupun masyarakat
  48. Dan faedah lain yang belum saya ketahui, wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Keyakinan Nur Muhammad, Cikal Bakal Keyakinan Wihdatul Wujud



Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam… Beliau merupakan hamba Allah sekaligus utusan-Nya. Allah telah memilihnya sebagai hamba-Nya yang paling mulia dan sebagai pengemban risalah bagi seluruh jin dan manusia. Selain itu, Allah juga telah memuliakan beliau dengan beberapa keutamaan yang tidak dimiliki oleh makhluk selainnya.
Keyakinan Nur Muhammad
Di antara keyakinan tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak tersebar di Indonesia, khususnya bagi mereka yang biasa bergelut dengan dunia ke-sufi-an, adalah keyakinan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di ciptakan dari cahaya Allah; dan seluruh alam semesta diciptakan dari cahayanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Benarkah pemahaman ini?
Syubhat Mereka
Yang menjadi dasar atas keyakinan tersebut adalah sebuah hadits yang terdapat banyak dalam kitab-kitab sufi. Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
`Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada shahabat Jabir bin `Abdilla al-Anshariy radhiyallahu `anhu, dia mengatakan: “Saya bertanya: ‘Wahai Rasulullah, Demi bapak dan ibu saya sebagai tebusan bagimu, kabarkan kepada saya tentang makhluk yang pertama Allah ciptakan sebelum Dia menciptakan selainnya.’ Beliau menjawab: ‘Wahai Jabir, makhluk yang pertama Allah ciptakan adalah cahaya Nabimu yang Dia ciptakan dari cahaya-Nya. Kemudian Dia menjadikan cahaya tersebut berputar dengan kuat sesuai dengan kehendak-Nya. Belum ada saat itu lembaran, pena, surga, neraka, malaikat, nabi, langit, bumi, matahari, bulan, jin, dan juga manusia. Ketika Allah hendak menciptakan, Dia membagi cahaya tersebut menjadi 4 bagian. Kemudian, Allah menciptakan pena dari bagian cahaya yang pertama; lembaran dari bagian cahaya yang kedua; dan `Arsy dari bagian cahaya yang ketiga. Selanjutnya, Allah membagi bagian cahaya yang keempat menjadi 4 bagian lagi. Lalu, Allah menciptakan (malaikat) penopang `Arsy dari bagian cahaya yang pertama; Kursi dari bagian cahaya yang kedua; dan malaikat yang lainnya dari bagian cahaya yang ketiga. …[di akhir hadits beliau mengatakan] Beginilah permulaan penciptaan Nabimu, ya Jabir.”

Derajat Hadits Nur Muhammad
Wahai saudaraku, semoga Allah menunjuki kita ke jalan-Nya, ketahuilah bahwasanya sanad (silsilah orang-orang yang meriwayatkan hadits) merupakan bagian dari agama kita, yang dengannya Allah menjaga agama ini. `Abdullah bin Mubarak mengatakan: “Sanad merupakan bagian dari agama. Kalau tidak ada sanad, tentu orang akan seenaknya berkata (tentang agama ini).”
Syaikh Dr. Shadiq Muhammad Ibrahim (salah seorang yang telah melakukan penelitian terhadap hadits ini) mengatakan: “Semua kitab-kitab sufi yang terdapat di dalamnya hadits ini, tidak ada yang menyebutkan sanad dari hadits tersebut. Mereka hanya menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh `Aburrazzaq. Saya telah mencarihadits tersebut dalam kitab-kitab yang ditulis oleh `Abdurrazzaq dan saya tidak menemukan hadits tersebut.”
`Abdullah al-Ghamariy (seorang pakar hadits) mengatakan: “Hadits tersebut merupakan hadits maudhu` (palsu). … Bersamaan dengan itu, hadits tersebut juga tidak terdapat dalam kitab Mushannaf `Abdurrazzaq, Tafsir-nya, dan tidak juga dalam Jami`-nya. … Maka shahabat Jabir bin `Abdullah radhiyallahu `anhu (perawi hadits menurut mereka) berlepas diri dari menyampaikan hadits tersebut. Demikian juga `Abdurrazzaq, dia tidak pernah menulis hadits tersebut (dalam kitabnya). Orang yang pertama menyampaikan hadits ini adalah Ibnu Arabi. Saya tidak tahu dari mana dia mendapatkannya.”
Konsekuensi yang Sesat dan Menyesatkan
Keyakinan sesat yang timbul sebagai konsekuensi dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
  • Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam diciptakan dari cahaya
    Keyakinan ini tentu saja merupakan bentuk pengingkaran terhadap al-Qur`an yang dengan jelas menyatakan tentang kemanusiaan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam.
    Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Katakanlah: ‘Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (QS. Al-Israa`: 93) Dan manusia diciptakan dari tanah, bukan dari cahaya. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kalian dari tanah. Kemudian tiba-tiba kalian (menjadi) manusia yang berkembang biak.” (QS. Ar-Ruum: 20)
  • Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam berasal dari cahaya Allah
    Ini merupakan perkataan tentang Allah tanpa dasar ilmu. Kita tidak bisa berbicara tentang Allah, kecuali melalui kabar dari-Nya, baik yang terdapat dalam al-Qur`an, maupun hadits yang sah dari Rasulullah shallallahu `alahi wa sallam. Allah Ta`alaberfirman yang artinya: “Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita mengatakannya, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), Ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nuur: 16)
Keyakinan Ini Tidak Lebih Baik Dari Keyakinan Nashrani
Puncak dari keyakinan sesat yang timbul sebagai konsekuensi dari hadits tersebut adalah keyakinan wihdatul wujud, yaitu keyakinan bahwasanya Dzat Allah bersatu dengan semua makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diciptakan dari cahaya Allah, kemudian dari cahayanya shallallahu `alaihi wa sallam diciptakanlah seluruh makhluk selainnya. Jadi, semua makhluk pada hakikatnya adalah berasal dari cahaya AllahTa’ala. Keyakinan ini (wihdatul wujud) sangat jelas kebatilannya. Bahkan, para ulama menyebutkan bahwa keyakinan orang Nashrani tentang tuhannya lebih baik dari keyakinan tersebut, karena Nashrani hanya mengatakan bahwa Dzat Allah menyatu dengan Isa `alaihis salam. Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka katakan. (lihat Muasuu`atur radd `ala shufiyyah)
Vonis dari Para Ulama
Ibnu `Arabi… Nama tersebut tidak asing lagi ditelinga kita. Siapakah dia? Dia merupakan salah satu tokoh sufi yang gencar dalam mempopulerkan keyakinan ini. Karena keyakinannya ini (wihdatul wujud) para ulama telah mengkafirkannya, mulai dari ulama yang sejaman dengannya, hingga ulama yang hidup saat ini. Di antara ulama-ulama besar yang mengkafirkannya adalah Ibnu Hajar al-`Atsqalany, Ibnu Katsir, Ibnu Shalah, dan al-Qasthalany, semoga Allah merahmati mereka semua. (lihat Muasuu`atur radd `ala shufiyyah)
Allah di atas Seluruh Makhluk-Nya
Di antara keyakinan Ahlus Sunnah adalah bahwasanya Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman yang artinya: “Dan Dia-lah yang Mahakuasa, yang berada di atas hamba-hamba-Nya” (QS. Al-An`am: 18)
Imam Syafi`i rahimahullah berdalil dalam menetapkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya, dengan hadits dari Mu`awiyah bin Hakam (yang diriwayatkan oleh Imam Muslim). Ketika itu dia ingin memerdekakan budak perempuannya. Maka Rasulullah menguji budak perempuan tersebut – apakah dia termasuk  orang beriman atau tidak – dengan bertanya: “Di mana Allah?” Kemudian budak perempuan memberikan isyarat ke arah atas. Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Siapa saya?” Budak tadi menjawab, “(Engkau adalah) utusan Allah.” Kemudian Beliau bersabda: “Bebaskan budak tersebut karena dia adalah orang yang beriman.” (Manhaj Imam Syafi`i fi Itsbail `Aqidah, hal. 355)
Semoga Allah menunjukkan kepada kita jalannya yang lurus dan melindungi hati kita dari keyakinan-keyakinan batil tersebut. Amin.
Penulis : Abu Ka’ab Prasetyo
Artikel
Muslim.Or.Id