Senin, 16 April 2012

PEMIMPIN IDEAL

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari


Al-Mawardi rahimahullah dalam kitab al-Ahkâm ash-Shulthaniyah menyebutkan syarat-syarat seorang pemimpin, di antaranya: Pertama, adil dengan ketentuan-ketentuannya. Kedua, ilmu yang bisa mengantar kepada ijtihad dalam menetapkan permasalahan kontemporer dan hukum-hukum. Ketiga, sehat jasmani, berupa pendengaran, penglihatan dan lisan, agar ia dapat langsung menangani tugas kepemimpinan. Keempat, normal (tidak cacat), yang tidak menghalanginya untuk bergerak dan bereaksi. Kelima, bijak, yang bisa digunakan untuk mengurus rakyat dan mengatur kepentingan negara. Keenam, keberanian, yang bisa digunakan untuk melindungi wilayah dan memerangi musuh.

Nilai lebih dalam hal kebijakan, kesabaran, keberanian, sehat jasmani dan rohani serta kecerdikan merupakan kriteria yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa memiliki kriteria itu, seorang pemimpin akan kesulitan dalam mengatur dan mengurus negara dan rakyatnya.

Muhammad al-Amin asy-Syinqithi menjelaskan, "Pemimpin haruslah seseorang yang mampu menjadi Qadhi (hakim) bagi rakyatnya (kaum muslimin). Haruslah seorang alim mujtahid yang tidak perlu lagi meminta fatwa kepada orang lain dalam memecahkan kasus-kasus yang berkembang di tengah masyarakatnya!"[1]

Ibnul-Muqaffa' dalam kitab al-Adabul-Kabir wa Adabush-Shaghir menyebutkan pilar-pilar penting yang harus diketahui seorang pemimpin: "Tanggung jawab kepemimpinan merupakan sebuah bala` yang besar. Seorang pemimpin harus memiliki empat kriteria yang merupakan pilar dan rukun kepemimpinan. Di atas keempat kriteria inilah sebuah kepemimpinan akan tegak, (yaitu): tepat dalam memilih, keberanian dalam bertindak, pengawasan yang ketat, dan keberanian dalam menjalankan hukum".

Lebih lanjut ia mengatakan: "Pemimpin tidak akan bisa berjalan tanpa menteri dan para pembantu. Dan para menteri tidak akan bermanfaat tanpa kasih sayang dan nasihat. Dan tidak ada kasih sayang tanpa akal yang bijaksana dan kehormatan diri".

Dia menambahkan: "Para pemimipin hendaklah selalu mengawasi para bawahannya dan menanyakan keadaan mereka. Sehingga keadaan bawahan tidak ada yang tersamar baginya, yang baik maupun yang buruk. Setelah itu, janganlah ia membiarkan pegawai yang baik tanpa memberikan balasan, dan janganlah membiarkan pegawai yang nakal dan yang lemah tanpa memberikan hukuman ataupun tindakan atas kenakalan dan kelemahannya itu. Jika dibiarkan, maka pegawai yang baik akan bermalas-malasan dan pegawai yang nakal akan semakin berani. Jika demikian, kacaulah urusan dan rusaklah pekerjaan".

Ath-Thurthusyi dalam Sirâjul-Mulûk mengatakan: "Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

"Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebagaian yang lain, pasti rusaklah bumi ini" [al-Baqarah/2:251].

Yakni, seandainya Allah tidak menegakkan pemimpin di muka bumi untuk menolak kesemena-menaan yang kuat terhadap yang lemah dan membela orang yang dizhalimi atas yang menzhalimi, niscaya hancurlah orang-orang yang lemah. Manusia akan saling memangsa. Segala urusan menjadi tidak akan teratur, dan hiduppun tidak akan tenang. Rusaklah kehidupan di atas muka bumi. Kemudian Allah menurunkan karunia kepada umat manusia dengan menegakkan kepemimpinan. Allah l mengatakan, tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. -Qs. al-Baqarah/2 ayat 251- yaitu dengan mengadakan pemerintahan di muka bumi, sehingga kehidupan manusia menjadi aman.

Karunia Allah Azza wa Jalla atas orang yang zhalim, ialah dengan menahan tangannya dari perbuatan zhaliman. Sedangkan karunia-Nya atas orang yang dizhalimi, ialah dengan memberikan keamanan dan tertahannya tangan orang yang zhalim terhadapnya.

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu telah meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الإِمَامُ العَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يَفْطُرَ وَدَعْوَةُ المَظْلُوْمِ.

"Tiga doa yang tidak tertolak: Doa pemimpin yang adil, orang yang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang dizhalimi" [2].

Diriwayatkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ حُسْنٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ


"Tujuh orang yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya: (1) Seorang imam yang adil (2) Seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan beribadah kepada Allah. (3) Seorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid. (4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah. (6) Lelaki yang diajak seorang wanita yang cantik dan terpandang untuk berzina lantas ia berkata: "Sesungguhnya aku takut kepada Allah". (5) Seorang yang menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. (6) Seorang yang berdzikir kepada Allah seorang diri hingga menetes air matanya." [3]

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata,"Amal seorang imam yang adil terhadap rakyatnya sehari, lebih utama daripada ibadah seorang ahli ibadah di tengah keluarganya selama seratus atau lima puluh tahun."

Qeis bin Sa'ad berkata,"Sehari bagi imam yang adil, lebih baik daripada ibadah seseorang di rumahnya selama enam puluh tahun."

Masruq berkata,"Andaikata aku memutuskan hukum dengan hak sehari. maka itu lebih aku sukai daripada aku berperang setahun fi sabilillah."

Diriwayatkan bahwa Sa'ad bin Ibrâhîm, Abu Salamah bin Abdurrahmân, Muhammad bin Mush'ab bin Syurahabil dan Muhammad bin Shafwan berkata kepada Sa'id bin Sulaiman bin Zaid bin Tsabit: "Menetapkan hukum secara hak satu hari, lebih utama di sisi Allah, daripada shalatmu sepanjang umur".
Kebenaran perkataan ini akan nampak jelas, jika melihat kebaikan yang didapatkan rakyat karena kebaikan pemimpinnya.

Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata,"Apabila seorang pemimpin berkeinginan melakukan kecurangan atau telah melakukannya, maka Allah akan menimpakan kekurangan pada rakyatnya di pasar, di sawah, pada hewan ternak dan pada segala sesuatu. Dan apabila seorang pemimpin berkeinginan melakukan kebaikan dan keadilan atau telah melakukannya niscaya Allah akan menurunkan berkah pada penduduknya."

Umar bin 'Abdul-Aziz rahimahullah berkata,"Masyarakat umum bisa binasa karena ulah orang-orang (kalangan) khusus (para pemimpin). Sementara kalangan khusus tidaklah binasa karena ulah masyarakat. Kalangan khusus itu adalah para pemimpin. Berkaitan dengan makna inilah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu" [al-Anfâl/8:25].

Al-Walid bin Hisyam berkata,"Sesungguhnya rakyat akan rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin."

Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Abu Ja'far al-Manshur: "Aku tahu, ada seorang lelaki yang bila ia baik, maka umat akan baik; dan jika ia rusak, maka rusaklah umat." Abu Ja'far al-Manshur (ia adalah pemimpin) bertanya: "Siapa dia?" Sufyan menjawab: "Engkau!"

Pemimpin yang paling baik ialah pemimpin yang ikut berbagi bersama rakyatnya. Rakyat mendapat bagian keadilan yang sama, tidak ada yang diistimewakan. Sehingga pihak yang merasa kuat tidak memiliki keinginan melakukan kezhalimannya. Adapun pihak yang lemah tidak merasa putus asa mendapatkan keadilan. Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Pemimpin yang baik, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa aman dan orang-orang yang bersalah merasa takut. Pemimpin yang buruk, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa takut dan orang-orang yang bersalah merasa aman."

Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata kepada al-Mughirah ketika mengangkatnya menjadi gubernur Kufah: "Hai Mughirah, hendaklah orang-orang baik merasa aman denganmu dan orang-orang jahat merasa takut terhadapmu".

Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Seburuk-buruk harta, ialah yang tidak diinfakkan. Seburuk-buruk teman, ialah yang lari ketika dibutuhkan. Seburuk-buruk pemimpin, ialah pemimpin yang membuat orang-orang baik takut. Seburuk-buruk negeri, ialah negeri yang tidak ada kemakmuran dan keamanan. Sebaik-baik pemimpin, ialah pemimpin yang seperti burung elang yang dikelilingi bangkai, bukan pemimpin yang seperti bangkai yang dikelilingi oleh burung elang.

Oleh karena itu dikatakan, pemimpin yang ditakuti oleh rakyat lebih baik daripada pemimpin yang takut kepada rakyat.

Seorang pemimpin, hendaklah juga memiliki sifat pemaaf. Maaf dari orang yang kuat adalah fadhilah. Sifat pemaaf yang dimiliki pemimpin, ibarat mahkota bagi seorang raja. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengatakan:

"Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh". [al-A'râf/7:199].

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menganjurkan memberi maaf:

"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan". [Ali 'Imrân/3:134].

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. -asy-Syûra/42 ayat 37- kecuali bila yang dilanggar itu adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala.

'Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata,"Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membalas dendam terhadap kezhaliman yang dilakukan terhadap beliau. Hanya saja, bila sesuatu dari hukum Allah dilanggar, maka tidak ada satupun yang dapat menghadang kemarahan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam."

Ketika Uyainah bin Hishn masuk menemui Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Hai Ibnul-Khaththab, demi Allah, engkau tidak memberi kami secara cukup dan engkau tidak menghukum di antara kami secara adil!" Marahlah Umar dan beliau ingin memukulnya. Salah seorang saudaranya berkata: "Hai Amirul- Mukminin, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, (yang artinya): Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. -al-A'râf/7 ayat 199 dan sesungguhnya dia ini termasuk orang bodoh".

Demi Allah, ketika ia mendengar ayat itu dibacakan, Umar tidak jadi memukulnya. Karena Umar seorang yang sangat komitmen mengikuti Kitabullah.

Seorang pemimpin hendaklah memiliki sifat kasih sayang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ


"Sayangilah orang-orang di bumi, niscaya Allah yang ada di langit akan menyayangimu". [HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani t dalam Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 1924]

Orang yang paling berhak menjadi pemimpin ialah yang paling kasih lagi paling penyayang. Sebaik-baik pemimpin ialah yang bisa menjadi teladan dan pemberi hidayah bagi rakyatnya, dan seburuk-buruk pemimpin ialah pemimpin yang menyesatkan. Dahulu dikatakan, bahwa rakyat berada di bawah agama pemimpinnya. Jika bagus agama pemimpinnya, maka bagus pulalah agama rakyatnya. Jika kacau agama pemimpinnya, maka kacau pulalah agama rakyatnya.

Dalam hadits Tsauban Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bersabda:

إِنَّ مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي أَئِمَّةً مُضِلِّينَ

"Sesungguhnya, yang paling aku khawatirkan atas dirimu ialah imam-imam yang menyesatkan". [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, ia berkata: Hadits ini hasan shahîh]

Di dalam kitab ash-Shahîh disebutkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

"Sesungguhnya, Allah tidak mengangkat ilmu sekaligus dari umat manusia, namun Allah mengangkatnya dengan mewafatkan para ulama. Sehingga apabila tidak lagi tersisa seorang pun ulama, manusia mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Ketika ditanya, mereka mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu. Akhirnya mereka sesat lagi menyesatkan" [4].

Imam ath-Thurthûsyi rahimahullah berkata,"Resapilah hadits ini baik-baik. Sesungguhnya, musibah menimpa manusia bukan karena ulama, bila para ulama telah wafat lalu orang-orang jahil mengeluarkan fatwa atas dasar kejahilannya, saat itulah musibah menimpa manusia."

Ia melanjutkan perkataannya: "Umar Ibnul-Khaththab Radhiyallahu 'anhu telah menerangkan maksud tersebut. Dia berkata,'Seorang yang amanat tidak akan berkhianat. Hanya saja pengkhianat diberi amanat, lantas wajar saja kalau ia berkhianat'."

Wallahu a'lam bish-Shawab.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Adhwâ'ul-Bayân, I/67.
[2]. HR. at Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 1432
[3]. HR. Bukhari dan Muslim
[4]. HR. Bukhari

HUKUM ORANG YANG MENUMBUHKAN KERAGUAN TERHADAP MANHAJ AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

Oleh
Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan.




Pertanyaan.

Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan ditanya : Meskipun ulama telah menjelaskan panjang lebar manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah, akan tetapi amat disayangkan masih ada yang meragukan kelayakan manhaj tersebut untuk diterangkan sekarang ini. Segelintir orang menganggap hal itu sebagai pemikiran yang rendah dan tidak dapat merealisasikan target-target dakwah. Bahkan sebagian orang menyindirnya sebagai manhaj yang terlalu condong kepada maslahat dan kepentingan masyarakat umum. Seolah-olah alim ulama adalah para pengkhayal yang hanya berpikir untuk kepentingan perutnya saja. Mereka juga beranggapan bahwa manhaj Ahlus Sunnah tidak layak diterapkan dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman !?

Jawaban.

Saya tegaskan bahwa itu adalah anggapan yang salah. Saya tegaskan juga bahwa orang-orang yang menebar keraguan dengan perkataan tersebut atau yang menyeru kepada cara-cara tersebut, apakah mereka para ulama yang senior dan para imam ataukah anak-ank muda yang masih hijau ?

Jelas mereka adalah anak-anak muda yang masih hijau ! Lantas apakah anak-anak ingusan seperti itu pantas menjadi rujukan umat ataukah para ulama yang dalam penelitian dan penyelidikannya ?


Lantas siapakah yang membawa pemikiran menyimpang ini ?


Bagaimanakah kesudahan orang-orang yang menganutnya ?


Realita membuktikan bahwa pemikiran seperti itu justru ditinggalkan oleh para pencetusnya ! Mereka sendiri akhirnya mengakui wajib berjalan di atas manhaj yang haq seperti yang telah ditempuh oleh para imam dan ulama umat ini. Orang yang bijaksana tentunya mengetahui bahwa pemikiran revolusioner yang membakar semangat itu dibawa oleh anak-anak ingusan yang bodoh, apakah orang-orang seperti itu layak dijadikan sebagai rujukan umat ini ? Bukankah hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mencela orang-orang yang mengambil ilmu dari orang-orang bodoh dan meninggalkan ulama ? Tentunya perkara ini sudah dimaklumi bersama.


Sesungguhnya mereka tidak hanya sekedar menganut dan memprogandakan pemikiran ini saja, bahkan mereka juga mengkritik dan menghina orang-orang yang mengajak kepada pemikiran yang berbeda dengan mereka dan menganggap orang-orang tersebut bukanlah ulama. Apakah pedoman Dienul Islam seperti itu !? Tentu saja tidak !


Sesungguhnya ulama besar umat ini dari masa ke masa senantiasa membimbing dan menasihati anak-anak muda yang masih ingusan lagi bodoh tadi. Akan tetapi mereka justru membantah dan membenci para ulama tersebut ! Apakah pedoman Salafush Shalih seperti itu !? Tentu saja tidak!


Salah satu tanda manhaj yang benar adalah para ulama saling merekomendasikan di antara mereka dan kalimat mereka satu padu serta saling menenggang kesalahan yang ada di antara mereka.


Dan salah satu ciri ahli bid'ah adalah saling mencaci, mencela dan saling menghina di antara mereka.


Pertanyaan.

Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan ditanya : Bukankah perbaikan umat termasuk salah satu tujuan syariat ?

Jawaban.

Sesungguhnya perbaikan umat memang termasuk salah satu tujuan syariat. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah cara mewujudkan perbaikan tersebut ? Pertanyaan ini harus dicarikan jawabannya!

Sekiranya kita katakan bahwa memanfaatkan mimbat-mimbar dan podium-podium untuk memprovokasi massa dan membeberkan kepada mereka segala sesuatunya adalah cara memperbaiki umat, maka realita yang ada telah menjawbnya ! Apakah umat bertambah baik ataukah malah semakin terpecah belah ? Pertanyaan berikut jawabannya ini menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan maslahat tersebut !


Pertanyaan.

Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan ditanya : Mereka mencela manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang mendahulukan dan memperhatikan kepentingan umat. Yaitu batasan-batasan yang telah digariskan oleh Ahlus Sunnah untuk membangkang terhadap penguasa yang jelas dan nyata kekafirannya, yakni pembangkangan itu tidak menimbulkan mudharat terhadap masyarakat umum. Sementara mereka beranggapan bahwa tidak perlu memperhatikan maslahat umum, namun sebaliknya kita mesti siap memberikan pengorbanan demi keberhasilan perubahan yang kita inginkan.

Jawaban.

Pertama harus saya jelaskan bahwa maslahat umum harus didahulukan daripada maslahat pribadi atau khusus. Kedua, sesungguhnya kemaslahatan Dienul Islam adalah kemaslahatan seluruh umat. Namun bukan berarti Islam itu harus ditegakkan dengan menumpahkan darah kaum muslimin. Dan bukan pula dengan menggoncang stabilitas keamanan dan kemaslahatan kaum muslimin serta menghancurkan kekuatan mereka hanya untuk meraih suatu kemaslahatan yang mungkin berhasil atau mungkin tidak. Dalil tentang itu banyak terdapat di dalam Al-Qur'an dan hadits, di antaranya.

"Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan" [Al-An-am : 108]


Bukankah mencela berhala, kekafiran dan orang-orang kafir merupakan salah satu kemaslahatan Islam ? Hal itu tentu saja tidak diragukan lagi. Tetapi apabila orang-orang kafir berkuasa serta memiliki kekuatan, lantas dalam kondisi demikian mereka malah melontarkan ucapan-ucapan yang terkadang mereka sendiri tidak memahaminya (bahaya)nya, (maka pada waktu itu terlarang untuk mencaci mereka -red). Meskipun kita tetap meyakini bahwa mencela tuhan-tuhan mereka adalah benar, namun tidak semua yang kita yakini benar mesti kita katakan.


Dalam kisah seorang anak muda ashabul ukhdud terdapat dalil yang menunjukkan adanya kaidah "mendahulukan kemaslahatan umum dari maslahat yang khusus". Allah telah memberikan karamah yang banyak kepada anak muda tersebut. Ketika itu sang raja memerintahkan anak buahnya untuk melemparkannya dari sebuah gunung setelah ia menyanggah ketuhanan raja tersebut, namun ia kembali dengan selamat.


Kemudian sang raja memerintahkan untuk melemparkannya ke laut namun ia juga kembali dengan selamat. Lalu dia berkata kepada sang raja : "Engkau tidak akan bisa membunuhku sampai engkau melaksanakan apa yang aku katakan". Sang raja berkata : "Apa yang harus aku lakukan ?" Dia berkata : "Kumpulkanlah manusia di suatu lapangan kemudian saliblah aku di atas kayu dan ambillah sebilah anak panah dari kantong anak panahku, lalu katakanlah.


"Artinya : Dengan menyebut nama Allah, Rabb anak muda ini !"


Jika engkau lakukan hal itu niscaya engkau akan dapat membunuhku". Begitu sang raja melakukan instruksi anak muda itu, ia pun berhasil membunuhnya. Kemudian orang-orang berkata seketika itu juga : "Kami beriman kepada Rabb anak muda itu!".


Coba perhatikan ! Anak muda tersebut telah mengorbankan dirinya di jalan Allah demi mendahulukan kemaslahatan masyarakat umum. Sungguh berbeda sekali dengan orang-orang sekarang yang mengangkat senjata sambil berkata pongah : "Saya akan merubah kemungkaran dan membunuh (orang-orang yang berbuat kemungkaran atau membelanya) apapun yang terjadi nanti !" Apakah tindakan seperti itu dibenarkan syariat !? Padahal ia sendiri tahu bahwa tindakannya itu tidak ada faidahnya ! Dan apakah perbuatan seperti itu terpuji !? Jawabnya tentu tidak ! Jadi, kemaslahatan Islam bukanlah berarti kemenanganya Dienul Islam saja. Justru kemaslahatan Islam adalah kemaslahatan seluruh kaum muslimin.


[Disalin dari kitab Muraja'att fi fiqhil waqi' as-sunnah wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, Terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]