Senin, 05 Desember 2011

CINTA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

BUKTI DAN TANDA CINTA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM[1]

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Semuanya mengakui dan ingin mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Untuk membuktikannya, diperlukan bukti dan tanda, yang dapat dijadikan sebagai standar kebenaran pengakuan cinta. Sebab, bila pengakuan tidak diwujudkan dengan bukti, maka apa artinya sebuah pengakuan? Karena tidak semua pengakuan cinta dianggap benar, kecuali jika diwujudkan dengan bukti dalam kehidupan sehari-harinya. Bukti dan tanda-tanda tersebut menunjukkan kecintaannya yang hakiki. Semakin banyak memiliki bukti dan tanda tersebut, maka semakin tinggi dan sempurna kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara bukti dan tanda-tanda tersebut ialah sebagai berikut :

1. MENCONTOH DAN MENJALANKAN SUNNAH BELIAU SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.
Mencontoh, mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berjalan di atas manhaj beliau, berpegang teguh serta mengikuti seluruh pernyataan dan perbuatan beliau n , merupakan awal tanda cinta Rasul. Seseorang yang benar mencintai Rasulullah ialah orang yang mengikuti Rasulullah secara lahiriyah dan batiniyah, selalu menyesuaikan perkataan dan perbuatannya dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik, beliau berkata:

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ لِأَحَدٍ فَافْعَلْ ثُمَّ قَالَ لِي يَا بُنَيَّ وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku: "Wahai, anakku! Jika kamu mampu pada pagi sampai sore hari di hatimu tidak ada sifat khianat pada seorangpun, maka perbuatlah," kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku lagi: "Wahai, anakku! Itu termasuk sunnahku. Dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang telah mencintaiku, maka aku bersamanya di Surga".[2]

Orang yang mencintai Rasulullah, ia harus membuktikan. Yaitu diwujudkan dengan semangat berpegang teguh dan menghidupkan Sunnah. Yakni mengamalkan sunnahnya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya, mendahulukan itu semua dari hawa nafsunya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik". [at Taubah : 24].

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Ali Imran : 31].

2. BANYAK MENGINGAT DAN MENYEBUTNYA
Karena orang yang mencintai sesuatu, tentu akan banyak mengingat dan menyebutnya. Ini menjadi sebab tumbuh dan bersinambungnya kecintaan. Yang dimaksud banyak mengingat dan menyebut beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentunya dalam hal yang disyariatkan. Di antaranya:

a. Menyampaikan shalawat dan salam kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, untuk mengamalkan firman Allah.

"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" [Faathir : 56].

Juga hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ ثُلُثَا اللَّيْلِ قَامَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا اللَّهَ اذْكُرُوا اللَّهَ جَاءَتْ الرَّاجِفَةُ تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ قَالَ أُبَيٌّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلَاةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلَاتِي فَقَالَ مَا شِئْتَ قَالَ قُلْتُ الرُّبُعَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ النِّصْفَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ قُلْتُ فَالثُّلُثَيْنِ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا قَالَ إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dulu, bila berlalu dua pertiga malam, beliau bangun dan berkata: "Wahai, sekalian manusia! Berdzikirlah kepada Allah, berdzikirlah kepada Allah. Pasti datang tiupan sangkakala pertama yang diikuti dengan yang kedua, datang kematian dengan kengeriannya, datang kematian dengan kengeriannya".
Ubai berkata: Aku bertanya,"Wahai, Rasulullah! Aku memperbanyak shalawat untukmu. Berapa banyak aku bershalawat untukmu?"
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Sesukamu," lalu Ubai berkata lagi: Aku berkata,"Seperempat."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,"Terserah, tetapi jika engkau tambah, maka itu lebih baik." Aku berkata,"Setengahnya."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab lagi: "Terserah, tetapi jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu," maka aku berkata lagi: "Kalau begitu, dua pertiga".
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Terserah, jika engkau kamu tambah, maka itu lebih baik bagimu," lalu aku berkata,"Aku jadikan seluruh (doaku) adalah shalawat untukmu," Maka Rasulullah menjawab: "Jika begitu (shalawat) itu mencukupkan keinginanmu (dunia dan akhirat) dan Allah akan mengampuni dosamu".[3]

Ibnul Qayyim menyatakan, Syaikh kami Abul Abas Ibnu Taimiyah ditanya tentang tafsir hadits ini, beliau mengatakan, waktu itu Ubai memiliki doa yang digunakan untuk dirinya sendiri, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, apakah ia menjadikan seperempat doanya juga untuk bershalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ? Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi: "… jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu". Dia menjawab, "Setengahnya". Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "… jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu". Sampai kemudian Ubai menyatakan: "Aku jadikan seluruh (doaku) adalah shalawat untukmu". Lalu Rasulullah menjawab: "Jika begitu (shalawat) itu mencukupkan keinginanmu (dunia dan akhirat) dan Allah akan mengampuni dosamu". Demikian ini, karena orang yang bershalawat satu kali untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia akan mendapatkan shalawat dari Allah sepuluh kali. Dan barangsiapa yang mendapat shalawat Allah, maka tentu akan dapat mencukupi semua keinginannya dan diampuni dosa-dosanya. Inilah pengertian ucapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.[4]

b. Menyebut keutamaan dan kekhususan sifat, akhlak dan perilaku utama yang Allah berikan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga menjadikan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai contoh. Juga menyebut mu’jizat serta bukti kenabian untuk mengenal kedudukan dan martabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan demikian, dapat mengenalkan kepada orang lain dan mengingatkan mereka, sehingga semakin meningkatkan keimanan dan kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ketika menyebutkan faidah yang didapat dari shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: "Ketika seseorang memperbanyak menyebut kekasihnya, mengingatnya di dalam hati dan mengingat kebaikan-kebaikan serta faktor-faktor yang menumbuhkan perasaan cinta kepadanya, maka semakin berlipat kecintaan dan bertambah rindu kepada kekasihnya tersebut, hingga memenuhi seluruh hatinya. Apabila ia sama sekali tidak menyebut dan tidak mengingatnya, dan tidak mengingat kebaikan-kebaikan sang kekasih di hatinya, maka akan berkurang rasa cinta di hatinya. Memang tidak ada yang dapat menyenangkannya lebih dari melihat kekasihnya tersebut. Juga tidak ada yang menyejukkan hatinya lebih dari menyebut dan mengingat sang kekasih dan kebaikan-kebaikannya. Apabila hal ini kuat di hatinya, maka lisannya langsung akan memuji dan menyebut kebaikan-kebaikannya. Bertambah dan berkurangnya hal ini, sesuai dengan bertambah dan berkurangnya rasa cinta di hatinya. Indera kita menjadi saksi kebenaran hal itu". [5]

c. Bersikap santun dan beradab dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam menyebut nama atau memanggilnya.

Allah berfirman :

"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih" [an Nuur : 63].

Atau bersikap santun dalam menerima dan mentaati perintah ataupun larangannya, serta membenarkan semua berita yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa adab tertinggi terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah secara penuh menerima, tunduk patuh kepada perintahnya dan menerima beritanya, membenarkan tanpa ada penentangan dengan khayalan batil yang dinamakan ma’qul (masuk akal), syubhat, keraguan-raguan, atau mendahulukan pendapat para intelektual dan pemikiran mereka yang. Sehingga berhukum dan menerima, tunduk dan taat, hanya kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. [6]

3. BERHARAP MELIHAT BELIAU SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DAN RINDU BERJUMPA DENGANNYA, WALAUPUN HARUS MEMBAYARNYA DENGAN HARTA DAN KELUARGA.
Tanda kecintaan ini dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِي لِي حُبًّا نَاسٌ يَكُونُونَ بَعْدِي يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِي بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ

"Di antara umatku yang paling mencintaiku adalah, orang-orang yang hidup setelahku. Salah seorang dari mereka sangat ingin melihatku, walaupun menebus dengan keluarga dan harta".[7]

Juga dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ فِي يَدِهِ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أَحَدِكُمْ يَوْمٌ وَلَا يَرَانِي ثُمَّ لَأَنْ يَرَانِي أَحَبُّ إِلَيْهِ مَنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ

"Demi Dzat, yang jiwa Muhammad di tanganNya (Allah). Pasti akan datang pada salah seorang dari kalian satu waktu, dan ia tidak melihatku, kemudian melihat aku lebih ia cintai dari keluarga dan hartanya".[8]

4. NASIHAT UNTUK ALLAH, KITABNYA, RASULNYA DAN PEMIMPIN KAUM MUSLIMIN SERTA UMUMNYA KAUM MUSLIMIN.

5. BELAJAR AL-QUR'AN, MEMBACA DAN MEMAHAMI MAKNANYA
Demikian juga belajar sunnahnya, mengajarkannya dan mencintai ahlinya (Ahlu Sunnah).

Al Qadhi Iyadh menyatakan, di antara tanda-tanda mencintai Rasulullah adalah, mencintai al Qur`an yang diturunkan kepadanya; dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil petunjuk, membimbing (manusia) dengannya serta berakhlak dengannya, sehingga 'Aisyah menyatakan:

إِنَّ خُلُقُ نِبِيِّ الله كَانَ القُرْآن

"Sesungguhnya akhlak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah al Qur`an" [9].

Ibnu Mas’ud berkata: "Janganlah seseorang menanyakan untuk dirinya, kecuali al Qur`an. Apabila ia mencintai al Qur`an, maka (berarti) ia mencintai Allah dan RasulNya" [10].

6. MENCINTAI ORANG YANG DICINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.
a. Ahli baitnya (kerabat).
Imam al Baihaqi berkata: "Dan termasuk dalam lingkup kecintaan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu mencintai Ahli Bait".[11]

Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) mengatakan, di antara ushul Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (yakni) mereka mencintai Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memberikan loyalitas kepada mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mereka [12]. Kemudian beliau rahimahullah menyatakan: "Ahlu Bait Rasulullah memiliki hak-hak yang wajib dipelihara, karena Allah menjadikan untuk mereka hak dalam al Khumus, al Fai’, dan memerintahkan bershalawat untuk mereka bersama shalawat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".[13]

Siapakah yang disebut Ahlul Bait? Ibnu Taimiyah rahimahullah mendefinisikan, bahwa Ahli Bait Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang diharamkan mengambil shadaqah. Demikian pendapat Imam asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambal serta yang lainnya dari para ulama.

b. Para istri beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ahlu Sunnah wal Jama’ah menjaga keutamaan dan hak-hak mereka, dan meyakini mereka tidak sama seperti para wanita lainnya. Allah telah membedakannya dalam firmanNya :

"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain" [al Ahzab : 32]

Allah menjadikan isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai ibu kaum Mukminin di dalam firmanNya:

"Dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka" [al Ahzab : 6].

Keutamaan isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga gambar dari firman Allah surat al Ahzab ayat 53, yang menyebutkan haramnya menikahi mereka setelah Rasulullah n wafat. Allah berfirman :

"Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah" [al Ahzab : 53].

Dengan mengetahui keutamaan isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga kita wajib untuk menjaga hak-hak mereka setelah mereka wafat, bershalawat untuk mereka bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, memohonkan ampunan bagi mereka, serta menjelaskan pujian dan keutamaan mereka.

c. Para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Imam al Baihaqi menyatakan, termasuk kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu mencintai para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Allah telah memuji mereka dalam firmanNya :

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar" [al Fath : 29].

"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)" [al Fath:18].

Imam al Baihaqi mengatakan: "Apabila mereka (para sahabat) telah mendapatkan kedudukan ini, maka mereka memiliki hak dari kaum Muslimin untuk mencintai mereka dan mendekatkan diri kepada Allah dengan kecintaan kepada mereka, karena apabila Allah meridhai seseorang, maka Dia mencintainya, dan wajib atas seorang hamba untuk mencintai orang yang dicintai Allah".[15]

Umat islam wajib mencintai sahabat, meridhoi mereka dan mendo’akan kebaikan untuk mereka, sebagaimana Allah perintahkan dalam firmanNya:

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya, Rabb kami. Beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya, Rabb kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Peyanyang"" [al Hasyr : 10].

Menurut Imam al Baihaqi, apabila mencintai sahabat termasuk iman, maka mencintai mereka mempunyai makna meyakini dan mengakui keutamaan-kutamaan mereka, mengetahui bahwa masing-masing mereka memiliki hak yang harus ditunaikan. Setiap yang memiliki kepedulian kepada Islam, (hendaknya) diperhatikan. Serta yang memiliki kedudukan khusus di sisi Rasulullah ditempatkan kedudukannya, menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka dan mendoakan kebaikan untuk mereka, mencontoh mereka dalam semua permasalahan agama. Tidak boleh mencari-cari kesalahan dan ketergelinciran mereka.[16]

Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab al Aqidah al Wasithiyah mengatakan, di antara ushul (pokok ajaran) Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah, selamatnya hati dan lisan dari mencela para sahabat Rasulullah, sebagaimana disifatkan Allah dalam firmanNya:

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya, Rabb kami. Beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya, Rabb kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Peyanyang".[al Hasyr : 10].

Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَ الَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

"Janganlah kalian mencela para sahabatku. Demi Allah, seandainya salah seorang kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud mereka dan tidak pula separuhnya".

Ahlus Sunnah menerima keutamaan-keutamaan dan martabat mereka yang telah dijelaskan dalam al Qur`an dan As Sunnah serta Ijma'. Ahlus Sunnah juga mendahulukan orang yang berinfaq dan berperang sebelum al Fathu –perjanjian Hudaibiyah- dari orang yang berinfaq dan berperang setelah itu. Ahlus Sunnah mendahulukan para Muhajirin atas Anshar, serta beriman bahwa Allah telah berfirman kepada orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar, berjumlah tigaratus sekian belas orang -Berbuatlah sesuka hati kalian, karena kalian sungguh telah diampuni.

Ahlus Sunnah juga beriman, orang-orang yang yang berbaiat di bawah pohon (Bai’at Ridwan), tidak ada seorangpun di antara mereka yang masuk neraka. Bahkan Allah telah meridhai mereka, dan mereka ridha kepada Allah. Jumlah mereka lebih dari seribu empat ratus orang. Ahlus Sunnah bersaksi, orang-orang yang dipersaksikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai ahli Surga -seperti sepuluh orang yang dijanjikan masuk Surga (al ‘Asyarah)-, Tsabit bin Qais bin Syammas dan sahabat-sahabat lainnya.

Ahli Sunnah beriman dengan pernyataan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya, yang telah dinukil secara mutawatir, bahwa sebaik-baik umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar, kemudian Umar, dan menetapkan yang ketiga adalah Utsman, yang keempat adalah Ali. Demikian ini sebagaimana disebutkan dalam atsar. Para sahabat bersepakat mendahulukan 'Utsman dalam hal Bai’at, berkaitan dengan adanya sebagian Ahlus Sunnah yang pernah berselisih antara 'Utsman dan Ali -setelah kesepakatan mendahulukan Abu Bakar dan Umar- siapakah dari keduanya yang lebih utama? Sebagian orang mendahulukan 'Utsman dan diam, atau menetapkan keempat adalah Ali. Sebagian lainnya mendahulukan Ali serta sebagian yang lainnya diam tidak bersikap. Namun, kaum Muslimin telah tetap mendahulukan 'Utsman kemudian Ali, walaupun masalah ini –yaitu masalah 'Utsman dan Ali- bukan termasuk pokok dasar (ushul) yang digunakan untuk menghukumi sesat kepada orang yang menyelisihinya -menurut mayoritas Ahlu Sunnah-. Akan tetapi yang digunakan untuk memvonis sesat adalah masalah kekhilafahannya. Hal itu karena khalifah setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian 'Umar, kemudian 'Utsman, kemudian Ali. Barangsiapa mencela kekhilafahan salah seorang dari mereka, maka ia lebih sesat dari keledai. [17]

Demikian sebagian pernyataan para ulama seputar permasalah ini.

7. MEMBENCI ORANG YANG DIBENCI OLEH ALLAH DAN RASULNYA
Memusuhi orang yang memusuhi Allah dan RasulNya. Menjauhi orang yang menyelelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah dalam masalah agama, dan merasa berat atas semua perkara yang menyelisihi syari’at. Allah berfirman:

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripadaNya. Dan dimasukkanNya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung" [al Mujadilah : 22].

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, bahwa seorang mukmin wajib memusuhi karena Allah dan berloyalitas karena Allah. Apabila disana ada orang mukmin, maka ia wajib memberikan loyalitas kepadanya –walaupun ia berbuat zhalim- karena kezhaliman tidak memutus loyalitas iman. Allah berfirman:

"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat". [al Hujurat : 9-10].

Allah menyebutkan persaudaraan, walaupun terjadi peperangan dan perbuatan aniaya. Allah memerintahkan perdamaian di antara mereka. Sehingga diwajibkan memberikan loyalitas kepada mukmin, walaupun ia menzhalimi dan berbuat aniaya kepadamu. Sedangkan orang kafir, maka ia wajib dimusuhi, walaupun ia telah memberi dan berbuat baik kepadamu.

Hal ini, lantaran Allah telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab suci, agar agama ini semua untukNya, sehingga cinta, kemuliaan dan pahala hanyalah untuk para waliNya. Adapun kebencian, kehinaan dan siksaan untuk para musuhNya.

Apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan, keburukan dan kefajiran, ketaatan dan kemaksiatan, sunnah dan bid’ah, maka ia berhak mendapatkan loyalitas dan pahala, sesuai dengan kebaikan yang dimilikinya. Dia (juga) berhak mendapatkan permusuhan dan siksaan, sesuai dengan keburukan yang dimilikinya. Sebab terkumpul pada orang tersebut kemuliaan dan kehinaan, lalu berkumpul ini dan itu, seperti pencuri yang fakir dipotong tangannya karena mencuri, dan ia diberi dari Baitul Mal sesuatu untuk mencukupi kebutuhannya. Inilah dasar pokok (asal) yang disepakati Ahlu Sunnah wal jama’ah.[18]

Demikian sebagian tanda dan bukti penting perwujudan cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga Allah memudahkan kita untuk dapat merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Wabillahi taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12//Tahun IX/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Sebagian besar makalah ini diambil dari kitab Huquq an Nabi ‘ala Umatihi fi Dhu’il Kitab wa as Sunnah, Dr. Muhammad Khalifah at Tamimi, Cet. Pertama, Th. 1418 H, Penerbit Adwaa’ al Salaf.
[2]. HR at Tirmidzi, kitab al Ilmu, Bab Ma Jaa fil Akhdzi bi Sunnah Wajtinaab al Bida’, no. 2678.
[3]. HR at Tirmidzi, kitab Sifat al Qiyamah, no. 2457 dan Syaikh al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (no. 954) menyatakan sanadnya hasan, karena perbedaan ulama yang terkenal tentang Ibnu Uqail.
[4]. Jala’ al Afhaam fi Fadhli ash Shalat wa as Salam ‘ala Khairil Anam, Ibnul Qayyim, tahqiq Zaid bin Ahmad an Nasyiri, Cet. Pertama, Th. 1425H, Dar ‘Alam al Fawaaid, hlm. 76.
[5]. Ibid, hlm. 525.
[6]. Madarij as Salikin (2/387).
[7]. HR Muslim, kitab al Jannah wa Shifat Na’imiha wa Ahliha, Bab Fiman Yawaddu Ru’yat an Nabi bi Ahlihi wa Malihi, no. 5060.
[8]. HR Muslim, kitab al Fadhail, Bab Fadhlu an Nazhar ila Nabi n wa Tamanihi, no. 4359
[9]. HR Muslim, kitab Shalat al Musafirin, Bab Jaami’ Shalat al Lail, no.1233.
[10]. Huquq an Nabi (1/343).
[11]. Syu’abil Iman, al Baihaqi (1/282).
[12]. Majmu’ Fatawa (3/407).
[13]. Ibid (3/307).
[14]. Ibid.
[15]. Syu’abil Iman, al Baihaqi (1/287).
[16]. Ibid., hlm. 297.
[17]. Majmu’ Fatawa (3/152-153) atau Syarah al Aqidah al Wasithiyah min Kalami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Khalid bin Abdullah al Mushlih, Cet. Pertama, Th. 1421 H, Dar Ibnul Jauzi, hlm. 177-184.
[18]. Majmu’ Fatawa (27/208-209). 

-------------------------------------------------------------------------------------------
HAKIKAT CINTA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM


Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjelaskan kandungan makna syahadatain dan memerintahkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memerangi manusia hingga bersaksi dengannya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai bersaksi, sesungguhnya tiada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah (syahadatain), menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan hal tersebut, maka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka pada Allah".[1]

Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan ketaatan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai konsekwensi dari syahadatain dan jalan menuju kebahagian dan keselamatan di dunia dan akhirat. Allah akan memberikan balasan Surga bagi orang-orang yang taat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dijelaskan di dalam al Qur`an surat an Nisaa` ayat 13 : "Barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar".

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, ketaatan kepada Allah dan RasulNya merupakan pokok kebahagian dan keselamatan [2]. Karena, dengan diutusnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Rasul Allah, maka manusia dapat membedakan kebenaran dan kebatilan dalam seluruh perkaranya.

Demikian tinggi dan agungnya kedudukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di sisi Allah, sehingga Allah mewajibkan kepada hamba-hambaNya beberapa hak dan kewajiban seputar beliau. Di antaranya, mencintai dan mengagungkannya melebihi diri hamba itu sendiri, bahkan melebihi kecintaan kita kepada orang lain selain beliau. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, cinta kepada Raulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk kewajiban terbesar dalam agama.[3]

Disebutkan di dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ رواه البخاري

"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia".[4]

KEWAJIBAN MENCINTAI RASULULLAH[5]
Mencintai Rasulullah hukumnya wajib, bahkan termasuk kewajiban terbesar dalam agama. Tidak sempurna iman seorang hamba, kecuali dengannya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan umat ini untuk mencintai Rasulullah melebihi dirinya, keluarga, harta dan seluruh manusia. Allah berfirman :

"Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik" [at Taubat : 24].

Al Qadhi Iyadh menyatakan, ayat ini cukup menjadi anjuran dan bimbingan serta hujjah untuk mewajibkan mencintai beliau n dan kelayakan beliau mendapatkan kecintaan tersebut, karena Allah menegur orang yang menjadikan harta, keluarga dan anaknya lebih dicintai dari Allah dan RasulNya dan mengancam mereka dengan firmanNya:

فتربصوأ حتى يأتى الله بأمره

(maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya), kemudian di akhir ayat menamakan mereka sebagai orang fasiq dan memberitahukan, bahwa orang tersebut termasuk sesat dan tidak mendapatkan petunjuk Allah.[6]

النبى أولى بالمنين من أنفسهم

"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri". [al Ahzab:6].

Ayat ini menunjukkan, orang yang tidak menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih utama dari dirinya sendiri, maka dia termasuk bukan mukmin. Hal ini menunjukkan, bahwa kewajiban mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melebihi dirinya sendiri.

والذتن ءامنوا أشد حبا لله

"Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah". [al Baqarah : 165].

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Ali Imran : 31].

Allah telah menjadikan ittiba’ (mengikuti RasulNya) sebagai bukti dan dalil kebenaran cinta Allah. Hal ini dapat diwujudkan, hanya setelah iman kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan iman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam harus terwujudkan syarat-syaratnya, di antaranya mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana diberitakan Abu Hurairah :

فَوَ الَذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِن وَلَدِهِ وَ وَالِدِهِ رواه البخاري

"Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya. Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian, hingga menjadikan aku lebih ia cintai dari anaknya dan orang tuanya".[7]

Selain hadits Abu Hurairah ini, hadits-hadits yang memerintahkan demikian cukup banyak. Di antaranya seperti dalam hadits Umar bin Al Khaththab :

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآنَ يَا عُمَر ُ رواه البخاري

"Kami bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau dalam keadaan memegang tangan Umar bin Al Khaththab, lalu Umar berkata kepada beliau: "Wahai, Rasululah! Sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku," lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak, demi Dzat yang jiwaku di tanganNya, sampai aku lebih kamu cintai dari dirimu sendiri". Lalu Umarpun berkata: "Sekarang, demi Allah, sungguh engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri," lalu Nabi n bersabda: "Sekarang, wahai Umar!" [8]

Juga hadits Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَمَنْ أَحَبَّ عَبْدًا لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ

"Tiga hal, yang apabila seorang memilikinya, maka akan mendapatkan manisnya; orang yang menjadikan Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari selainnya, orang yang mencintai seorang hamba hanya karena Allah, dan orang yang benci pada kekafiran setelah Allah selamatkan darinya sebagaimana benci dilemparkan ke Neraka".[9]

Juga hadits yang diriwayatkan sahabat Anas bin Malik lainnya yang berbunyi:

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ قَائِمَةٌ قَالَ وَيْلَكَ وَمَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا إِلَّا أَنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قَالَ إِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ فَقُلْنَا وَنَحْنُ كَذَلِكَ قَالَ نَعَمْ فَفَرِحْنَا يَوْمَئِذٍ فَرَحًا شَدِيدًا متفق عليه

"Seorang penduduk badui menjumpai Rasulullah n dan bertanya: "Wahai, Rasulullah! Kapan hari Kiamat terjadi?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Apa yang telah engkau persiapkan untuknya?" Ia menjawab,"Aku tidak memiliki persiapan, kecuali aku mencintai Allah dan RasulNya," maka Rasulullah bersabda,"Sungguh, engkau bersama orang yang engkau cintai." Lalu kami berkata: "Demikian juga kami?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Ya." Maka kamipun pada hari itu sangat berbahagia".

Dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan lafadz:

قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِأَعْمَالِهِمْ

"Anas berkata: "Sungguh aku mencintai Allah, RasulNya, Abu Bakar dan Umar, lalu aku berharap bisa bersama mereka, walaupun aku belum beramal dengan amalan mereka". [10]

Masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan wajibnya mencintai Rasulullah. Sehingga pantaslah bila Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan, cinta Allah dan RasulNya termasuk kewajiban iman terbesar dan pokok, dan kaidah iman yang teragung. Bahkan ia merupakan landasan semua amalan iman dan agama.[11]

HAKIKAT CINTA RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Cinta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan bagian dari cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah menuntut konsekwensi mencintai semua yang Allah cintai. Dan Allah mencintai nabi dan kekasihNya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga, cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan cabang dan termasuk kecintaan kepada Allah.

Ibnul Qayyim menyatakan: "Semua kecintaan dan pengagungan kepada manusia diperbolehkan hanya karena ikut kepada kecintaan Allah dan pengagunganNya, seperti cinta dan pengagungan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kecintaan tersebut merupakan kesempurnaan mencintai dan mengagungkan Dzat yang mengutusnya, karena umatnya mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam karena Allah mencintainya. Merekapun mengagungkan dan memuliakan beliau, karena Allah memuliakannya".[12]

Dengan demikian, cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan kita mencontoh dan bersikap sama dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam segala hal yang dicintai dan dibencinya. Dan diwujudkan dalam ittiba’ (meniru) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita mencintai semua yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam cintai, dan membenci semua yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam benci, ridha dengan semua yang beliau ridhai dan marah terhadap semua yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam marah padanya, serta mengamalkan semua tuntutan cinta dan benci tersebut dengan amal perbuatan.[13]

Kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah, dapat diwujudkan dengan hal-hal berikut.

1. Mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas kecintaan kepada diri sendiri, keluarga dan seluruh manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri". [al Ahzab : 6].

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ رواه البخاري

"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian, hingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia [14].

Sehingga demi yang dicintainya, seseorang dituntut siap mengorbankan jiwa dan harta. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badui yang berdiam di sekitar mereka tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang), dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah, karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik". [at Taubat :120].

2. Membenarkan semua yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah, mentaati beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua perintahnya dan menjauhi segala larangannya, serta beribadah hanya dengan syari’atnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Yang wajib bagi orang semisal mereka adalah, mengetahui bahwa kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya bisa terwujud dengan membenarkan seluruh berita beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah, mentaati perintah dan mencontoh beliau, serta mencintai dan loyal kepadanya, tidak mendustakan ajaran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (tidak) berbuat syirik serta bersikap berlebihan terhadap beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.[15]

Ini juga merupakan konsekwensi dari persaksian syahadat "asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuluhu. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di dalam kitab al Ushuluts Tsalatsah menjelaskan, makna Syahadat ana Muhammadan Rasulullah adalah, mentaati beliau dalam semua perintahnya, membenarkan semua beritanya dan menjauhi semua larangannya, serta tidak beribadah kecuali dengan syari’atnya.[16]

3. Melaksanakan semua konsekwensi dari cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik berupa i’tikad, pernyataan ataupun amalan, sesuai dengan hak-hak Rasulullah yang Allah wajibkan kepada hati, lisan dan anggota tubuh, sehingga beriman dan membenarkan kenabian, kerasulan dan seluruh ajaran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu melaksanakan kewajiban dengan segenap kemampuannya, berupa ketaatan, ketundukan kepada perintahnya dan meneladani sunnahnya . Allah berfirman:

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah". [al Hasyr : 7].

Termasuk dalam hal ini, yaitu mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau, menolong dan membela beliau dari semua orang yang mengusik dan mengganggunya, baik ketika beliau masih hidup atau setelah wafat, dan berbicara kepada beliau dengan perkataan yang pantas, mengutamakan pendapat dan pernyataan beliau dari selainnya.[17]

SAHABAT & KECINTAAN KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Para sahabat telah memperoleh kemulian berjumpa dengan NabiShallallahu 'alaihi wa sallam . Mereka melihat langsung keluhuran dan kemulian akhlak beliau. Mereka juga langsung menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Oleh karena itu, perlu kita lihat betapa besar kecintaan para sahabat kepada Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Banyak kisah tentang perwujudan cinta mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antaranya kisah perjalanan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Hudaibiyah dan perjanjian Hudaibiyah yang disampaikan Imam al Bukhari dengan sangat panjang. Di antara isinya adalah :

فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ جَاءَ بُدَيْلُ بْنُ وَرْقَاءَ الْخُزَاعِيُّ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِهِ مِنْ خُزَاعَةَ وَكَانُوا عَيْبَةَ نُصْحِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ تِهَامَةَ فَقَالَ إِنِّي تَرَكْتُ كَعْبَ بْنَ لُؤَيٍّ وَعَامِرَ بْنَ لُؤَيٍّ نَزَلُوا أَعْدَادَ مِيَاهِ الْحُدَيْبِيَةِ وَمَعَهُمْ الْعُوذُ الْمَطَافِيلُ وَهُمْ مُقَاتِلُوكَ وَصَادُّوكَ عَنْ الْبَيْتِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا لَمْ نَجِئْ لِقِتَالِ أَحَدٍ وَلَكِنَّا جِئْنَا مُعْتَمِرِينَ وَإِنَّ قُرَيْشًا قَدْ نَهِكَتْهُمْ الْحَرْبُ وَأَضَرَّتْ بِهِمْ فَإِنْ شَاءُوا مَادَدْتُهُمْ مُدَّةً وَيُخَلُّوا بَيْنِي وَبَيْنَ النَّاسِ فَإِنْ أَظْهَرْ فَإِنْ شَاءُوا أَنْ يَدْخُلُوا فِيمَا دَخَلَ فِيهِ النَّاسُ فَعَلُوا وَإِلَّا فَقَدْ جَمُّوا وَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأُقَاتِلَنَّهُمْ عَلَى أَمْرِي هَذَا حَتَّى تَنْفَرِدَ سَالِفَتِي وَلَيُنْفِذَنَّ اللَّهُ أَمْرَهُ فَقَالَ بُدَيْلٌ سَأُبَلِّغُهُمْ مَا تَقُولُ قَالَ فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى قُرَيْشًا قَالَ إِنَّا قَدْ جِئْنَاكُمْ مِنْ هَذَا الرَّجُلِ وَسَمِعْنَاهُ يَقُولُ قَوْلًا فَإِنْ شِئْتُمْ أَنْ نَعْرِضَهُ عَلَيْكُمْ فَعَلْنَا فَقَالَ سُفَهَاؤُهُمْ لَا حَاجَةَ لَنَا أَنْ تُخْبِرَنَا عَنْهُ بِشَيْءٍ وَقَالَ ذَوُو الرَّأْيِ مِنْهُمْ هَاتِ مَا سَمِعْتَهُ يَقُولُ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ كَذَا وَكَذَا فَحَدَّثَهُمْ بِمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ فَقَالَ أَيْ قَوْمِ أَلَسْتُمْ بِالْوَالِدِ قَالُوا بَلَى قَالَ أَوَلَسْتُ بِالْوَلَدِ قَالُوا بَلَى قَالَ فَهَلْ تَتَّهِمُونِي قَالُوا لَا قَالَ أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنِّي اسْتَنْفَرْتُ أَهْلَ عُكَاظَ فَلَمَّا بَلَّحُوا عَلَيَّ جِئْتُكُمْ بِأَهْلِي وَوَلَدِي وَمَنْ أَطَاعَنِي قَالُوا بَلَى قَالَ فَإِنَّ هَذَا قَدْ عَرَضَ لَكُمْ خُطَّةَ رُشْدٍ اقْبَلُوهَا وَدَعُونِي آتِيهِ قَالُوا ائْتِهِ فَأَتَاهُ فَجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوًا مِنْ قَوْلِهِ لِبُدَيْلٍ فَقَالَ عُرْوَةُ عِنْدَ ذَلِكَ أَيْ مُحَمَّدُ أَرَأَيْتَ إِنْ اسْتَأْصَلْتَ أَمْرَ قَوْمِكَ هَلْ سَمِعْتَ بِأَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ اجْتَاحَ أَهْلَهُ قَبْلَكَ وَإِنْ تَكُنِ الْأُخْرَى فَإِنِّي وَاللَّهِ لَأَرَى وُجُوهًا وَإِنِّي لَأَرَى أَوْشَابًا مِنْ النَّاسِ خَلِيقًا أَنْ يَفِرُّوا وَيَدَعُوكَ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ امْصُصْ بِبَظْرِ اللَّاتِ أَنَحْنُ نَفِرُّ عَنْهُ وَنَدَعُهُ فَقَالَ مَنْ ذَا قَالُوا أَبُو بَكْرٍ قَالَ أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلَا يَدٌ كَانَتْ لَكَ عِنْدِي لَمْ أَجْزِكَ بِهَا لَأَجَبْتُكَ قَالَ وَجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُلَّمَا تَكَلَّمَ أَخَذَ بِلِحْيَتِهِ وَالْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ قَائِمٌ عَلَى رَأْسِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ السَّيْفُ وَعَلَيْهِ الْمِغْفَرُ فَكُلَّمَا أَهْوَى عُرْوَةُ بِيَدِهِ إِلَى لِحْيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرَبَ يَدَهُ بِنَعْلِ السَّيْفِ وَقَالَ لَهُ أَخِّرْ يَدَكَ عَنْ لِحْيَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَفَعَ عُرْوَةُ رَأْسَهُ فَقَالَ مَنْ هَذَا قَالُوا الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَقَالَ أَيْ غُدَرُ أَلَسْتُ أَسْعَى فِي غَدْرَتِكَ وَكَانَ الْمُغِيرَةُ صَحِبَ قَوْمًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَتَلَهُمْ وَأَخَذَ أَمْوَالَهُمْ ثُمَّ جَاءَ فَأَسْلَمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا الْإِسْلَامَ فَأَقْبَلُ وَأَمَّا الْمَالَ فَلَسْتُ مِنْهُ فِي شَيْءٍ ثُمَّ إِنَّ عُرْوَةَ جَعَلَ يَرْمُقُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَيْنَيْهِ قَالَ فَوَاللَّهِ مَا تَنَخَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ وَإِذَا أَمَرَهُمْ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ وَمَا يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا لَهُ فَرَجَعَ عُرْوَةُ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ أَيْ قَوْمِ وَاللَّهِ لَقَدْ وَفَدْتُ عَلَى الْمُلُوكِ وَوَفَدْتُ عَلَى قَيْصَرَ وَكِسْرَى وَالنَّجَاشِيِّ وَاللَّهِ إِنْ رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ يُعَظِّمُهُ أَصْحَابُهُ مَا يُعَظِّمُ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحَمَّدًا وَاللَّهِ إِنْ تَنَخَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ وَإِذَا أَمَرَهُمْ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ وَمَا يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا لَهُ وَإِنَّهُ قَدْ عَرَضَ عَلَيْكُمْ خُطَّةَ رُشْدٍ فَاقْبَلُوهَا.

Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba datangnya Budail bin Warqaa’ al Khuzaa’i bersama beberapa orang dari kaumnya Khuza’ah, dan mereka ini adalah orang-orang yang dipercaya Rasulullah (dapat menyimpan rahasia dan amanah) dari penduduk tihaamah.

Lalu Budail berkata: "Sungguh aku tinggalkan Ka’ab bin Lu’ai dan ‘Amir bin Lu’ai tinggal di sekitar sumber air Hudaibiyah dan bersama mereka harta. Wanita dan anak-anak mereka dalam keadaan siap memerangimu dan mencegahmu dari Ka’bah".

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,"Kami datang bukan untuk berperang, namun kami datang untuk berumrah. Sungguh Quraisy telah menjadi lemah dan rugi karena perang. Maka jika mereka ingin, aku akan menawarkan gencatan senjata beberapa waktu dan membiarkan urusanku dengan orang-orang. Maka jika aku menang, bila mereka ingin memeluk apa yang orang lain memeluknya (beragama), mereka bisa kerjakan. Dan kalau tidak menang, maka mereka telah beristirahat dari peperangan. Apabila mereka menolak (tawaran ini), maka demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tentu akan aku perangi di atas agama ini sampai bahuku terpisah (aku terbunuh), dan Allah pasti akan mewujudkan perintahnya."

Lalu Budail berkata: "Saya akan sampaikan kepada mereka apa yang engkau sampaikan".

Perawi berkata: Lalu Budail berangkat sampai mendatangi Quraisy, ia berkata: "Aku telah mendatangi kalian dari lelaki tersebut, dan kami telah mendengar pernyataannya. Jika kalian ingin, kami sampaikan kepada kalian, kami akan lakukan".

Maka orang bodoh mereka berkata: "Kami tidak butuh engkau memberitahukan hal itu".

Sedangkan tokoh mereka berkata: "Silahkan beritahu apa yang telah engkau dengar dari pernyataannya".

Budail berkata,"Aku mendengar ia berkata demikian dan demikian," lalu Budail menyampaikan kepada mereka pernyataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu Urwah bin Mas’ud bangkit dan berkata: "Wahai, kaum! Bukankah kalian orang tua?"

Mereka menjawab,"Ya."
Ia berkata lagi,"Bukankah aku ini anak kalian?"
Mereka menjawab,"Ya."
Ia berkata lagi: "Apakah kalian meragukanku?"
Mereka menjawab,"Tidak!"

Ia berkata lagi: "Bukanlah kalian mengetahui, bahwa aku telah memerintahkan penduduk ‘Ukaadz untuk berperang. Ketika mereka menolaknya, maka aku mendatangkan keluarga dan anakku, serta orang yang mentaatiku?"

Mereka menjawab,"Ya."

Ia berkata lagi: "Sungguh, orang itu telah menawarkan kepada kalian perkara yang baik, maka terimalah dan biarkanlah aku menemuinya".

Mereka menjawab,"Datangilah!" Lalu Urwah mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , dan mulailah ia berbicara kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab seperti yang beliau sampaikan kepada Budail.

Maka Urwahpun, ketika itu berkata : "Wahai, Muhammad. Bagaimana pendapatmu, bila engkau habiskan perkara kaummu, apakah engkau pernah mendengar seorang dari bangsa Arab menghancurkan seluruh keluarganya sebelummu? Namun bila sebaliknya, sungguh aku tidak melihat orang-orang dan aku yakin orang-orang campuran tersebut, pasti akan lari dan meninggalkanmu".

Maka Abu Bakar berkata kepadanya: Sedot kemaluannya Latta! Apakah mungkin kami akan lari dan meninggalkannya?
Maka Urwahpun menyahut: "Siapa itu?"
Mereka menjawab: "Abu Bakar," lalu Urwah berkata,"Seandainya bukan karena jasa baikmu kepadaku dahulu (yang) menghalangiku, tentu aku akan menjawab (pernyataan)mu ini."

Urwah kembali berbicara kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setiap kali berbicara, maka ia memegangi jenggot Rasulullah. Dan al Mughirah bin Syu’bah berdiri di belakang kepala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa pedang dan mengenakan tutup kepala besi, sehingga setiap kali Urwah menggerakkan tangannya ke arah jenggot Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka al Mughirah memukulnya dengan gagang pedang, dan berkata: "Tahan tanganmu dari jenggot Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam," lalu Urwah pun mengangkat kepalanya dan berkata: "Siapa ini?"

Mereka menjawab,"Al Mughirah bin Syu’bah,"maka Urwah pun berkata: "Wahai, penghianat! Bukankan aku telah berusaha menghilangkan (kejelekan) pengkhianatanmu?"
Memang, dahulu pada zaman Jahiliyah, al Mughirah pernah menemani satu kaum, lalu membunuh dan merampok harta mereka, kemudian datang masuk Islam, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Adapun Islammu aku terima, sedangkan harta itu bukan urusanku".

Kemudian Urwah mulai memperhatikan para sahabat Nabi dengan kedua matanya. Ia berkata,"Demi Allah! Tidaklah Rasulullah mengeluarkan dahak, kecuali mengenai satu telapak seorang dari mereka, lalu menggosokkannya ke wajah dan kulitnya. Dan jika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka, maka mereka segera melaksanakannya. Juga jila beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, maka mereka seakan-akan berperang memperebutkan sisa air wudhunya. Dan jika berbicara, mereka merendahkan suara-suara mereka. Mereka tidak memandang langsung Rasulullah karena mengagungkannya," lalu Urwahpun pulang menemui teman-temannya dan berkata: "Wahai, kaum! Demi Allah! Sungguh aku pernah menemui para raja, menemui kaisar, kisra dan Najasyi. Demi Allah! Tidak pernah aku melihat seorang pun raja yang diagungkan para sahabatnya seperti para sahabat Muhammad kepada Muhamad. Demi Allah! Tidaklah keluar dahak darinya, kecuali mengenai telapak seorang dari mereka, lalu menggosokkannya di wajah dan kulitnya. Jika ia memerintahkan mereka, maka mereka segera melaksanakannya. Jika ia berwudhu, mereka seakan-akan berperang memperebutkan air sisa wudhunya. Dan jika berbicara, mereka merendahkan suara-suara mereka serta tidak memandang langsung kepadanya karena mengagungkannya. Sungguh ia telah menawarkan kepada kalian kebaikan, maka terimalah!" [18]

Kita lihat, betapa besar kecintaan para sahabat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka wujudkan kecintaan tersebut dalam amalan nyata. Di antaranya dengan melaksanakan seluruh perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, merendahkan suara di hadapannya dan bersikap takdim di depan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kisah ini dilihat dan dipersaksikan langsung oleh musuh beliau waktu itu.

Bagaimana dengan kita kaum Muslimin sebagai pengikut beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ? Tentu menjadi sebuah keharusan untuk mewujudkan cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam realitas kehidupan sehari-hari. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memudahkan kita mengikuti tauladan tercinta, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wabillahit taufiq.

Maraji` :
- Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah.
- Huquq an Nabi ‘ala Umatihi fi Dhu’il Kitab wa as Sunnah, Dr. Muhammad Khalifah at Tamimi, Cet. Pertama, Th. 1418 H, Penerbit Adwaa’ as Salaf.
- At Tuhfah al 'Iraqiyah fil A’mal al Qalbiyah, Ibnu Taimiyah, tahqiq Dr. Yahya Muhammad al Hunaidi, Cet. Pertama, Th. 1421H, Maktabat ar Rusyd.
- Thariq al Wushul ila Idhah ats Tsalatsah al Ushul, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhali, Cet. Tahun 1422H, Maktabah al Furqaan, UEA.
- Jala’ al Afhaam fi Fadhli ash Shalat wa as Salam ‘ala Khairil Anam, Ibnul Qayyim, tahqiq Zaid bin Ahmad an Nasyiri, Cet. Pertama, Th. 1425H, Dar ‘Alam al Fawaaid.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12//Tahun IX/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR al Bukhari dalam kitab al Iman, Bab فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ , hadits no. 25.
[2]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah (1/4).
[3]. Ar Radd a’lal Akhnaa’i, hlm. 231. Dinukil dari kitab Huquq an Nabi ‘ala Umatihi fi Dhu’il Kitab wa as Sunnah, Dr. Muhammad Khalifah at Tamimi, Cet. Pertama, Th. 1418 H, Penerbit Adwaa’ as Salaf (1/289).
[4]. HR al Bukhari dalam kitab al Iman, Bab Hubbur Rasul minal Imaan, no. 14.
[5]. Diringkas dari Huquq an Nabi (1/301-318).
[6]. Dinukil dari Huquq an Nabi (1/301-302).
[7]. HR al Bukhari, kitab al Iman, Bab Hubbur Rasul minal Imaan, no. 13.
[8]. HR al Bukhari, kitab al Aimaan an an Nudzur, Bab Kaifa Kaanat Yamiin an Nabi, no. 6632.
[9]. HR al Bukhari, kitab al Iman, Bab Halaawat Iman, no. 16.
[10]. HR al Bukhari, kitab al Adab, Bab al Mar’u Ma’a Man Ahab, no. 6171 dan Muslim, kitab al Bir wa as Silah, Bab al Mar’u Ma’a Man Ahab, no. 4775.
[11]. At Tuhfah al 'Iraqiyah fil A’mal al Qalbiyah, Ibnu Taimiyah, tahqiq Dr. Yahya Muhammad al Hunaidi, Cet. Pertama, Th. 1421H, Maktabat ar Rusyd, hlm. 373.
[12]. Jala’ al Afhaam fi Fadhli ash Shalat wa as Salam ‘ala Khairil Anam, Ibnul Qayyim, tahqiq Zaid bin Ahmad an Nasyiri, Cet. Pertama, Th. 1425H, Dar ‘Alam al Fawaaid, hlm. 205.
[13]. Huquq an Nabi (1/289) dengan sedikit perubahan.
[14]. HR al Bukhari, kitab al Iman, Bab Hubbur Rasul minal Imaan, no. 14.
[15]. Huquq al Nabi (1/291).
[16]. Lihat Thariq al Wushul ila Idhah ats Tsalatsah al Ushul, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhali, Cet. Tahun 1422H, Maktabah al Furqaan, UEA, hlm. 163.
[17]. Huquq an Nabi (1/294).
[18]. HR al Bukhari, kitab asy Syuruth, Bab Syurut fil Jihad, no. 2529.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar