Jumat, 16 Desember 2011

Kemulian Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu

Sungguh menjadi keniscayaan, bahwa mulazamah yang terus-menerus dan persahabatan abadi yang dijalin Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu terhadap Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan hasil. Rasul telah membinanya dengan tarbiyah iman yang tinggi. Hal ini tampak dalam sebagian besar sisi moral dan keilmuannya.

Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang mengarahkan pembicaraannya langsung kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sebagai seorang murabbi (pendidik), pembimbing (mursyid) sekaligus sebagai guru. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ”Wahai, Abu Hurairah. Jadilah engkau sebagai seorang yang wara, niscaya engkau menjadi orang yang paling mengabdi kepada Allah. Jadilah engkau seorang yang qana’ah (merasa cukup dengan yang dimiliki), niscaya engkau menjadi orang yang paling bersyukur. Cintailah untuk manusia apa yang engkau sukai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi mukmin. Berbuat baiklah kepada tetangga yang bersebelahan denganmu,niscaya engkau menjadi seorang muslim; dan sedikitlah tertawa, sebab banyak tertawa itu mematikan hati.”

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memahami wasiat ini dan semangat melaksanakannya. Sehingga kita mengenalnya sebagai orang yang wara, jauh dari gemerlap kehidupan dunia, harta dan hidup sederhana. Dia sangat jauh dari ambisi jabatan kepemimpinan dan fitnah. Kita akan mengetahui, (bahwa) ia sebagai seorang yang mencintai manusia dengan mengajarkan ilmu kepada mereka. Dia seorang yang memiliki semangat tinggi memahamkan hadits, serta seorang yang selalu berbuat baik kepada tetangganya. Ammar binYasir mengakui keutamaannya ini.

Demikian juga ia berbuat baik kepada tetangganya, yaitu Abdulah bin Syaqiq yang menjadi muridnya setelah itu. Kita pun akan mengetahui, ia seorang yang jauh dari senda gurau. Dia seorang ahli ibadah yang sering menangis, seperti saat disebutkan nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika wafatnya Hasan Radhiyallahu ‘anhu dan setelah meninggalnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu.

PERHATIAN DAN PENJAGAAN (HAFALAN) ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU TERHADAP AL QUR’AN
Kita menemukan, bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu seorang yang memburu setiap kebaikan. Dia telah mengerahkan segala kesungguhannya untuk mendapatkan kebaikan dan keistimewaan tersebut. Dia menerima pengajaran Al Qur’an secara langsung dari Ubay bin Ka’ab. Sedangkan Ubay bin Ka’ab merupakan salah satu dari empat sahabat yang diakui Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki hafalan Al Qur’an yang bagus.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Mintalah diajarkan Al Qur’an dari empat orang, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim maula (bekas budak) dari Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal.”

Kemudian dia Radhiyallahu ‘anhu menjadi seorang pengajar Al Qur’an. Dan (yang telah) belajar darinya, yaitu Abu Ja’far Yazid bin Al Qa’qa Al Makhzumi Al Madani, salah seorang dari sepuluh ahli qira’ah yang terkenal; begitu juga Abdurrahman bin Hurmuz Al A’raj. Sedangkan Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim Al Madani, salah seorang imam ahli qira’ah tujuh yang terkenal belajar dan mengambil Al Qur’an dari Al A’raj. Dengan demikian kita mengetahui, bahwa bacaan Al Qur’an yang banyak dikenal di kalangan muslimin, sumbernya berasal dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Tersirat pula dalam pernyataan Ibnu Al Jauzi, bahwa tidak ada seorangpun yang mengalahkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam masalah tersebut. Ibnu Al Jauzi berkata, ”Berakhir pada Abu Hurairah bacaan Al Qur’an yang dilakukan Abu Ja’far dan Nafi.”

Dengan demikian Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu telah memancarkan sumber pahala yang tak kunjung padam untuk dirinya. Dia mendapatkan kebaikan pada setiap satu huruf dari Al Qur’an yang dibacanya dan setiap pribadi muslim dari masa tabi’in hingga hari kiamat

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu mengajarkan Al Qur’an tidak hanya kepada dua orang saja, namun lebih dari itu. Sebagaimana perkataan Maina’ bekas budak Abdurrahman bin Auf, “Aku menerima pengajaran surat Al Baqarah dan surat Ali Imran dari lisan Abu Hurairah.”

BANYAKNYA IBADAH ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU
Dari Abu Utsman An Nahdi, ia berkata,”Aku pernah bertamu kepada Abu Hurairah selama tujuh hari. Dan menjadi kebiasaan Abu Hurairah, isteri dan pembantunya untuk saling bergantian menjadikan malam tiga bagian.Seorang dari mereka shalat kemudian membangunkan yang lainnya …”

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sendiri menjelaskan kegiatan pada setiap malamnya, ”Aku membagi malam menjadi tiga bagian. Sepertiganya kugunakan untuk tidur, sepertiganya untuk shalat, dan sepertiga lainnya aku pergunakan untuk mengulang-ulang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”

ABU HURAIRAH SEORANG YANG BERAMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR
Sudah menjadi kebiasaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu pergi menuju masjid-masjid kaum Anshar yang tersebar di penjuru kota Madinah untuk mengajarkan dan memperdengarkan kepada mereka hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti kepergiannya ke masjid Bani Zuraiq dan mengajar disana. Ini dibuktikan dengan banyaknya orang orang dari Bani Zuraiq yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah.

Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang dari Bani Amir telah melewati Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , lalu ada yang mengatakan : “Orang ini adalah yang paling banyak hartanya”, maka Abu Hurairah memanggilnya, seraya menanyakan hal tersebut. Ia menjawab, ”Benar, aku memiliki 100 ekor unta merah dan 100 ekor onta berwarna kecoklatan dan sekian banyak ekor kambing.” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hati-hatilah kamu dari kaki-kaki onta dan kaki-kaki kambing tersebut. Sebab aku mendengar Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ……,” kemudian Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memaparkan hadits yang panjang tersebut berisi diinjak-injaknya (pemilik harta onta dan kambing) dengan kaki onta dan kambing tersebut jika mendzaliminya. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim tanpa kisah laki-laki dari Bani Amir (Al Amiri) tersebut.

Imam Al Haitsami mengutip satu kisah, bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu melewati pasar Madinah, lalu ia berhenti di tempat itu, ia berkata,”Wahai, penghuni pasar. Alangkah tidak mampunya kalian.” Mereka menimpali, ”Apa itu, wahai Abu Hurairah?” Ia menjawab,” Itu, peninggalan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dibagi-bagi, sedangkan kalian ada disini? Tidakkah kalian mendatanginya, lalu mengambil bagian kalian?” Mereka bertanya,”Dimanakah dia?” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Di masjid.” Maka mereka pun bergegas keluar menuju masjid, sedang Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tetap berdiri menunggu mereka kembali. Ia bertanya kepada mereka, ”Apa yang kalian dapati?” Mereka menjawab,”Wahai, Abu Hurairah. Kami telah mendatangi masjid dan memasukinya, namun tidak melihat sesuatu sedang dibagi disana.” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Tidakkah kalian melihat seseorang di masjid?” Mereka menjawab,”Benar, kami melihat sekelompok orang sedang shalat, sekelompok membaca Al Qur’an dan sekelompok lainnya sedang mempelajari perihal halal dan haram.” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Celakalah kalian. Itulah peninggalan Rasulullah.”

BAKTI ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU KEPADA IBUNYA
Tiada bakti yang lebih besar dari menyelamatkan orang tua dari api neraka. Tiada pula do’a yang paling tepat dan berharga yang dipanjatkan untuk sahabat atau salah seorang keluarga lebih dari do’a mendapatkan hidayah dan keimanan. Dari sini sudah sepantasnya kita memahami, betapa besarnya bakti Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu kepada ibunya ketika ia berharap keislaman ibunya dan menjadi penyebab ibunya masuk Islam.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata, ”Aku mendakwahi ibuku agar memeluk agama Islam, sedangkan ia masih musyrik. Pada suatu hari, aku mendakwahinya. Lalu ia menyatakan sesuatu kepadaku tentang Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membuatku benci (mendengarnya). Akhirnya aku mendatangi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan menangis di hadapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata,”Wahai, Rasulullah. Sungguh aku telah mendakwahi ibuku agar masuk Islam, namun ia enggan mengikuti ajakanku. Hingga akhirnya, pada suatu hari aku mendakwahinya, namun ia (justru) menyatakan sesuatu kepadaku tentang Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang aku benci (mendengarnya). Karenanya mintalah kepada Allah agar menunjuki ibu Abu Hurairah.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Ya, Allah. Berilah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah.” Aku pun meninggalkan rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh kegirangan atas do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi ibuku. Ketika sampai di rumah, aku langsung berdiri di depan pintu, ternyata pintu terkunci. Lalu ibuku mendengar suara hentakan kakiku, lalu (ia) berkata,”Tetaplah disitu (tunggulah), wahai Abu Hurairah.” Aku pun mendengar suara gemericik air, ternyata ia mandi, kemudian mengenakan baju dan bersegera mamakai jilbabnya dan membukakan pintu untukku, seraya berkata,”Wahai, Abu Hurairah. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusanNya.” Abu Hurairah berkata,”Aku pun kembali menemui Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menangis karena bahagia.” Aku berkata,”Wahai, Rasulullah. Berbahagialah, sungguh Allah telah memenuhi dan mengabulkan do’a anda, dan ibuku telah mendapatkan petunjuk.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sllam memuji Allah dan mengagungkanNya, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Baiklah.”

Gambaran yang paling menakjubkan tentang kecintaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu kepada ibunya, adalah berita yang disampaikan kepada kita oleh Abdullah bin Wahb dalam kitab Jami’inya dari jalan Abdullah bin Lahi’ah dari Khalid bin Yazid dari Sa’id bin Abu Hilal, ia berkata: Setiap hari Abu Hurairah menemui ibunya dan berkata,”Terima kasih untukmu, wahai ibuku. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, sebagaimana engkau telah mendidikku di waktu kecil.” Maka ibunya berdoa,”Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, sebagaimana engkau telah berbuat baik kepadaku ketika usiaku telah senja.” Kisah ini juga dibawakan Imam Bukhari.

TAWADHU (KERENDAHAN HATI) ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU DENGAN ILMU YANG DIMILIKINYA
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang paling banyak hafalannya dari kalangan sahabat, namun hal itu tidak membuatnya bangga diri. Ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dalam Al Mushannaf tentang pernyataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu kepada Ibnu Abbas yang merupakan sahabat muda (ashgharush shahabat): “Anda lebih baik dariku dan lebih paham tentang Islam daripada aku”.

Dalam bentuk lain, kita melihat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tawadhu di hadapan tabi’in besar Amr bin Aus Ats Tsaqafi (wafat tahun 75 H). Abu Hurairah berkata kepada sekelompok orang yang telah bertanya kepadanya, padahal diantara mereka terdapat Abdurrahman bin Nafi bin Labibah: “Kalian bertanya kepadaku, padahal di tengahtengah kalian ada Amr bin Aus?!”

KETELITIAN DAN KELAYAKAN ABU HURAIRAH BERFATWA
Ibnu Hazm menyebutkan ada tigabelas orang sahabat yang fatwa-fatwa mereka diriwayatkan. Dia menempatkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu di urutan keempat. Sedangkan yang lainnya adalah Ummu Salamah, Anas, Al Khudri, Utsman, Abdullah bin Amru, Ibnu Az Zubair, Abu Musa, Sa’ad, Salman, Jabir, Mu’adz dan Abu Bakar. Kemudian ia berkata,”Mereka hanya tigabelas orang saja, yang memungkinkan fatwa-fatwa dari mereka dikumpulkan dalam juz yang kecil.” Kemudian ia menambahkan tujuh orang lainnya. Sekalipun demikian, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sangat takut dan malu mengeluarkan fatwa. Karena termasuk sifat dan tabiat kaum mukminin adalah tatsabut (bersikap hati-hati) dalam berfatwa. Sehingga banyak para salaf yang enggan berfatwa dan tidak mau menjawab jika ada orang lain yang lebih layak untuk menjawabnya.

Imam Ad Darimi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa berfatwa sebelum yakin akan kebenarannya, maka dosanya bagi yang berfatwa.”

Rasa takut dan kekhawatiran Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam berfatwa, telah membuatnya selalu bertanya jika tidak mantap dalam berfatwa; (ini) berbeda dengan orang-orang yang mencelanya.

Al Bukhari telah meriwayatkan satu kisah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata ketika ditanya penduduk Bahrain tentang hukum memakan daging ikan yang telah mati terapung di laut. Ia menjawab: “Tidak mengapa”. Lalu iapun bertanya kepada Umar, dan Umar menjawab dengan jawaban yang sama.

ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU SEORANG YANG DERMAWAN, MEMERDEKAKAN HAMBA, BERBUAT BAIK KEPADA BEKAS BUDAKNYA DAN MENYANTUNI ANAK YATIM
Dari Ath Thahawi, ia berkata,”Aku singgah menjadi tamu di rumah Abu Hurairah di Madinah. Aku belum pernah melihat seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih bersegera menyambut dan menghormati tamunya darinya Radhiyallahu ‘anh .”

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari jalan Al Waqidi, bahwa Abu Hurairah menetap di Dzulhulaifah dan memiliki rumah di kota Madinah yang dishadaqahkan kepada para mantan budaknya.

Demikian juga Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu seorang penyantun anak yatim yang bernama Mu’awiyah bin Mut’ib Al Hudzali. Ia memelihara dan mengajarkan semua yang diketahuinya, sampai akhirnya menjadi salah satu tabi’in terkenal. Mu’awiyah ini memiliki banyak riwayat hadits dari Abu Hurairah dalam Musnad Imam Ahmad dan yang lainnya.

Perihal ini menunjukkan, bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berada diantara dua kondisi. Pertama. Dia memiliki harta dan menginfakkannya di jalan Allah, memerdekakan hamba, membantu yang membutuhkan, dan menyantuni anak yatim. Yang kedua. Dia tidak mempunyai harta dan membutuhkannya, lalu bersabar dan merasa cukup dengan kemudahan yang diberikan Allah, atau menerima pemberian dari baitul mal kaum Muslimin. Bila mendapatkannya, ia memberikan kepada orang lain ataupun ikut serta menikmatinya.

Kedua keadaan ini, baik yang pertama maupun yang kedua, tidak ada yang mampu menjalaninya, kecuali orang-orang yang ikhlas.

TARBIYAH ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU KEPADA ANAKNYA
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu mengajak dan membiasakan isteri serta anak-anaknya untuk zuhud, hidup sederhana dan beramal shalih. Dia Radhiyallahu ‘anhu mendidik puteranya Al Muharrar dengan pendidikan ilmiah, yang menjadikannya sebagai seorang perawi handal, yang kaum muslimin membutuhkan dan meriwayatkan hadits-hadits darinya yang belum didapatkan dari ayahnya (Abu Hurairah), seperti Imam Asy Sya’bi dan Az Zuhri.

Dia membiasakan pula puterinya hidup zuhud dan sederhana. Berikut petikan nasihatnya: “Wahai, anakku. Janganlah engkau mengenakan perhiasan emas. Sebab, ayahmu ini khawatir api yang menyala-nyala akan menimpamu Wahai, anakku. Dan janganlah engkau mengenakan sutera. Sebab, ayahmu ini mengkhawatirkanmu terbakar api neraka”.

PERNIKAHAN ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU
Dia seorang yang hidup pada masa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggal bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak disibukkan dengan wanita. Namun, setelah Rasulullah n wafat, dia menikahi Bisrah binti Ghazwan Al Maziniyah. Bishrah seorang sahabiyah saudara ‘Utbah bin Ghazwan Al Mazini Radhiyallahu ‘anhu seorang sahabat terkenal dan Gubernur Bashrah.

ANAK-ANAK ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU
Para pakar sejarah menyebutkan, bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memiliki empat orang anak laki-laki dan seorang perempuan. Yang paling terkenal dan paling tua adalah Al Muharrir.

Imam Al Bukhari dan Ibnu Abi Hatim telah menulis sejarah singkatnya, begitu juga Ibnu Hajar dan Ibnu Sa’ad. Ibnu Sa’ad bercerita:”Al Muharrir bin Abu Hurairah zmeninggal di Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Dia meriwayatkan hadits dari ayahnya, namun termasuk orang yang sedikit meriwayatkan hadits”.

Abu Hurairah ra juga mempunyai anak lainnya yang sering dipanggil dengan nama Muharriz. Al Bukhari dan Abul Faraj menyebutkan dalam kitabnya. Dia termasuk yang meriwayatkan hadits dari ayahnya. Sedangkan anak ketiganya adalah Abdurrahman bin Abu Hurairah. Imam Al Bukhari, Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Hibban mencantunkan biografinya (dalam kitab mereka). Anak ke empat bernama Bilal. Ibnu Abu Hatim dan yang selainnya menyebutkan hal ini. Bilal mempunyai anak yang bernama Muharrir bin Bilal.

Adapun saudara perempuan mereka namanya tidak dikenal. Akan tetapi, Ibnu Sa’ad menceritakan bahwa Sa’id bin Al Musayyib telah menikahinya.

ORANG-ORANG YANG TELAH DIMERDEKAKAN ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memiliki budak yang dimerdekakan ketika ia sampai di Khaibar pada awal hijrahnya. Dalam kisah ini terdapat dalil yang menunjukkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bukanlah seorang faqir ketika hijrahnya. Namun, ia menjadi faqir pada masa-masa Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena memilih bermulazamah (tetap setia bersama) di Shuffah daripada bekerja dan sibuk berdagang di pasar. Kemudian, setelah itu ia memiliki mawali (budakbudak yang telah ia merdekakan). Ada sejumlah mawalinya yang terkenal, diantaranya ialah: Abu Maryam, Abu Yunus Sulaim atau Sulaiman bin Jabir atau Jubair, Ibrahim bin Muhammad, Abdurrahman bin Mihran dan Tsabit bin Musykil

ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU BERPISAH DENGAN KEHIDUPAN DUNIA
Sekarang, kita menceritakan akhir seorang guru yang telah berusia lanjut mendekati usia delapan puluhan, yang sesaat lagi akan menghadap Allah Ta’ala setelah menunaikan amanah yang ada di pundaknya dan menyebarkan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengajarkan kepada manusia.

Ketika berada di atas tempat tidur menghadapi kematian, ia menangis. Maka ditanyakan kepadanya: Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Hurairah?” Dia menjawab,”Aku sesungguhnya tidak menangisi unia kalian ini. Namun aku menangis karena jauhnya perjalanan, sedangkan perbekalanku sedikit. Aku sekarang berada dalam tangga yang curam, antara surga dan neraka. Aku tidak tahu berjalan ke arah mana dari keduanya,”kemudian ia berwasiat,”Jika aku meninggal, janganlah kalian meratapiku; sebab Rasulullah n tidak pernahmeratapi kematian.”

Lalu Marwan masuk menjenguknya sebelum saat-saat kematian dan berkata,”Mudah-mudahan Allah memberimu kesembuhan, wahai Abu Hurairah,” akan tetapi Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menghadap ke arah lain dan tidak menjawab apa yang dikatakan oleh Marwan. Dia menoleh untuk bermunajat kepada Allah dengan penuh keyakinan. Dia telah mengisi kehidupannya dengan berbagai macam amal kebaikan, yang menanti rahmat Allah, seraya berdo’a:”Ya, Allah. Sesungguhnya aku sangat gembira bertemu denganMu, maka bersenanglah untuk bertemu denganku.” Al Muqbiri berkata,”Belum sampai sahabat Marwan melangkahkan kakinya, Abu Hurairah pun telah meninggal dunia,” namun kenangan baik tentangnya akan tetap tersimpan di hati kaum mukminin hingga hari kiamat.

Terjadi perbedaan pendapat tentang tahun kematiannya. Ada yang menyatakan, wafatnya tahun 57 H dan ada yang menyatakan bahwa wafatnya pada tahun 58 H, serta ada yang menyatakan wafatnya tahun 59 H.

Dia meninggal di Al Aqiq, lembah yang berdampingan dengan Madinah dan dikuburkan di Baqi’ di Madinah. Al Walid bin ‘Utbah bin Abi Sufyan menjadi imam dalam shalat jenazahnya. Saat itu ia menjabat sebagai gubernur wilayah Madinah pada masa pemerintahan Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu.

Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu dan Marwan bin Al Hakam berjalan di depan jenazah. Begitu juga Ibnu Umar ikut serta mengiringi jenazah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berjalan di depan jenazah dengan memperbanyak mengucapkan “Rahimahullah” atas Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, seraya berkata: “Dia termasuk penjaga hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untukkaum muslimin”.

Kemudian Al Walid bin ‘Utbah menulis surat kepada Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu, mengabarkan kematian Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Mu’awiyah pun membalasnya seraya berpesan: “Lihatlah, siapa saja yang ditinggalkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan serahkan kepada ahli warisnya 10.000 dirham serta perlakukanlah mereka dengan baik, dan berbuat baiklah kepada mereka; sebab, ia termasuk orang yang membela Khalifah Utsman dan berada di rumah Utsman”.

Mudah-mudahan Allah merahmati dan meridhainya. Hanya orang -orang dengki dan tidak tahu malu yang terus berusaha mendiskreditkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu -Red.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar