Sabtu, 09 April 2011

Arti Penting Sunnah Sebagai Solusi Bagi Problema Umat*


Setelah menyampaikan pujian kepada Allâh Ta'ala, bershalawat atas Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan khutbatul-hajah, kemudian Fadhilatusy-Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali menyampaikan muhadharahnya.
Sungguh, kejadian-kejadian yang menimpa umat Islam dan menyapu negeri mereka, sebenarnya tercakup dalam konteks firman Allâh Ta’ala:
Sesungguhnya Allâh tidak merubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
(QS ar-Ra’d/13:11)
Sesungguhnya Allâh Tabaraka wa Ta’ala, Maha Kuasa melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Seluruh perkara di alam semesta ini terjadi berdasarkan takdir dan ketetapan-Nya. Dia telah menetapkan sunnah-sunnah kauniyah dan sunnah syar’iyah bagi terciptanya kemuliaan, (maka) begitu pula (Dia) telah menggariskan sunnah kauniyah serta sunnah syar’iyah bagi terjadinya kehinaan.
Umat manapun yang menempuh sebab-sebab yang menyeret pada kehinaan, niscaya kekuatannya akan hancur. Dan umat manapun yang menempuh faktor-faktor yang mendatangkan kejayaan, niscaya akan menggapai kemulian, walaupun sebelumnya merupakan bangsa rendahan.
Dalam ayat yang mulia ini, Allâh Ta'ala menyampaikan sebuah masalah, yang semestinya direnungi serta dipahami oleh orang-orang berakal dan oleh kaum Muslimin. Yakni, Allâh Ta'ala menjelaskan, bahwa Dialah yang merubah keadaan umat-umat manusia dan merubah kondisi suatu bangsa. Dialah yang memutar roda perjalanan umat dan mengatur keadaan mereka. Firman Allâh Ta'ala :
إِنَّ آللهَ لاَ يُغَيِّرُ بِقَوْمٍ
Sesungguhnya Allâh tidak merubah keadaan suatu kaum
Di sini, dipaparkan bahwa perubahan berasal dari Allâh Ta'ala. Namun, umat yang ingin agar Allâh Ta'ala merubah kondisi dan semua kejadian yang menimpa mereka, berupa kehinaan, kerendahan dan kehancuran, wajib menempuh dan mengikuti langkah-langkah syar’i (yang disyari’atkan) yang telah Allâh Ta'ala uraikan. Yaitu, jiwa-jiwa yang menjadi rendah kerena kejahatan ini, hendaknya meninggalkan kejahatan, kejelekan, kebodohan, kezhaliman, dan kebid’ahan. Yakni mereka harus merubah keadaan diri mereka.
Jadi, titik awal perubahan, bermula dari diri Anda sendiri, wahai hamba Allâh! Yaitu, hendaknya Anda memulai melaksanakan proyek perubahan pada diri Anda sendiri dan pada umat, hingga dengannya Allâh akan merubah keburukan yang menimpa umat; dimana Allâh tidak akan mencabut keadaan buruk ini sampai mereka kembali kepada agamanya.
Firman Allâh Ta'ala :

Sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri
Untuk itu, mulailah melangkah dengan merubah diri sendiri dan kondisi umat. Niscaya Allâh Ta'ala akan merubah keadaan mereka. Hal ini, telah ditegaskan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang mulia dalam hadits shahih yang mulia. Yaitu hadits Ibnu ‘Umar dari ayahnya dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda :

Apabila kalian telah berjual-beli dengan sistem ‘inah,
mengikuti ekor-ekor sapi dan larut dengan pertanian serta meninggalkan jihad,
maka Allâh Ta'ala akan menimpakan kalian kehinaan;
tidak mencabutnya (dari kalian) hingga kalian kembali kepada agama kalian.

(HR Abu Dawud)

Allâh Ta'ala telah menjelaskan sunah-sunah kauniyah dan syar’iyah kepada umat ini; jika mereka mengaplikasikan dan menjalankannya, maka mereka akan menjadi umat terbaik, seperti yang Allâh Ta'ala kehendaki dan persaksikan dalam firman-Nya:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.
(QS Ali ‘Imran/3:110)
Dan firman Allâh Ta'ala :

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam),
ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
(QS al Baqarah/2:143)
Umat ini adalah umat pilihan dan umat yang adil. Semua kejadian yang telah menimpanya dan akan melandanya, berupa kelesuan dan kelemahan, itu hanyalah perkara ringan yang mudah hilang -dengan izin Allâh- ketika mereka kembali kepada agama mereka dan berpegang teguh dengan Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Semoga hal itu segera terwujud!
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pun telah menerangkan bahwa qawam (kepemimpian) dan qiyam (tegaknya eksistensi) umat ini hanyalah ada dengan dua perkara.
Pertama. Qawam (kepemimpinan) umat ini adalah dengan ilmu. Yang dimaksud dengan ilmu, yakni firman Allâh Ta'ala, sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan perkataan para sahabat. Tidak mungkin umat ini mampu menjaga citra, kemandirian dan keteladanannya (di hadapan umat-umat yang lain), selain dengan kekuatan ilmu. Hal ini telah dijelaskan Syaikh Ali dengan baik dan keterangannya berisi kebaikan yang besar. (Lihat pembahasan Mengapa Musibah Terus Mendera ?, Red.).
Kedua. Qiyam (tegaknya eksistensi) umat ini sehingga terus dapat menjaga posisi kepemimpinannya, dapat memberikan kehidupan, kekuatan, kesinambungan dan kekokohan serta kemajuannya, hanyalah bila ilmu tersebut dibangun berdasarkan Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Apabila ilmu tersebut berasaskan firman Allâh Ta'ala, sabda Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan perkataan para sahabat radhiyallâhu'anhum, maka itulah ilmu atsari (pusaka dari generasi terdahulu) yang ditekankan oleh Allâh, Rasul-Nya dan syari’at-Nya untuk dipelajari. Dan agama menempatkan pemilik ilmu ini pada thabaqat (generasi, tingkatan manusia) terbaik umat ini. Seperti tertuang dalam firman Allâh Ta'ala :

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
(QS Fathir/ 35:28)
Adapun bila ilmu tersebut didasarkan kepada ra’yi, qiyas, ilmu kalam dan filsafat, maka menyeret umat ini menuju jurang penyimpangan dan kehancuran.
Dalam hadits yang dibawakan Syaikh Ali tadi (Lihat pembahasan Mengapa Musibah Terus Mendera? Red.), Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan dua kategori manusia yang muncul dalam memegang kendali umat.
Pertama. Orang-orang yang diridhai Allâh, dan (merekapun) ridha kepada Allâh. Yaitu para ulama rabaniyun.
Kedua. Kelompok yang dipimpin setan, yang merasa mempunyai kapasitas tertentu, akan tetapi sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Yaitu, kelompok pemimpin kesesatan, yang Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan sifat mereka dalam hadits:

Apabila ilmu telah dicabut dengan diwafatkannya ulama,
maka manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh.
Lalu mereka ditanya dan berfatwa tanpa dasar ilmu.
(Dalam riwayat lain: berfatwa dengan ra’yunya).
Dalam hadits ini, tersirat pujian terhadap ilmu dan celaan terhadap ra’yu dan qiyas. Karena ra’yu dan qiyas ini sama sekali bukan merupakan ilmu, walaupun pemiliknya memandangnya sebagai ilmu.
Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:

Maka manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh.
Lalu mereka ditanya dan berfatwa tanpa dasar ilmu
Di sini, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan tentang dasar yang mereka jadikan landasan untuk mengeluarkan fatwa. Mereka berfatwa dengan dasar ra’yu (pikiran murni). Sebagai dampak buruknya, adalah (mereka sesat dan menyesatkan). Mereka sendiri sesat dan menyesatkan umat, karena merekalah pemegang keputusan dan pihak yang diserahi tanggung jawab kepemimpinan.
Akibatnya, amanat rabbaniyah (amanah dari Allâh) lenyap sia-sia di tangan mereka, sebagaimana disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ketika beliau ditanya tentang kondisi menjelang hari Kiamat:

Apabila urusan sudah dipegang –dalam riwayat lain: disandarkan- kepada selain ahlinya,
(maka tunggulah saat kehancurannya).
(HR al Bukhari)
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan perkara ini, yaitu perkara Sunnah dan arti pentingnya dalam memberikan solusi problematika umat pada hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallâhu'anhu yang berbunyi:

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah menasihati kami dengan nasihat yang menyentuh, sehingga bercucuran air mata dan bergetar hati-hati.
Lalu kami berkata:
“Wahai Rasûlullâh! Berilah kami wasiat, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan”.
Beliau bersabda,
”Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allâh;
dan mendengar serta taat, walaupun kepada budak habasyi.
Karena, barangsiapa yang hidup dari kalian setelahku,
maka akan melihat perselisihan yang banyak.
Maka wajib bagi kalian berpegang teguh kepada Sunnahku
dan Sunnah para khulafaurrasyidin al mahdiyyin (yang memberi petunjuk) setelahku,
dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.
Hati-hatilah terhadap perkara baru, karena perkara baru itu bid’ah,
dan semua yang bid’ah adalah sesat, dan seluruh kesesatan ada di neraka.

(HR Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dalam hadits ini, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyampaikan nasihat yang sangat menyentuh, seperti layaknya wasiat terakhir yang disampaikan orang yang hendak pergi berpisah.
Pernyataan sahabat al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallâhu'anhu mengenai nasihat beliau ini sebagai pesan perpisahan. Seakan-akan sahabat ini menilai, bahwa melalui pesan tersebut, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan semua faktor kebaikan kepada kita semua dan meletakkannya di depan mata kita, agar kita bisa memandang dan berjalan mengikutinya.
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga telah bersabda:

Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas Islam yang jelas;
malamnya seperti siangnya; tidak menyimpang darinya, kecuali orang yang binasa.
(HR Ibnu Majah)
Orang yang akan berpisah, tentu akan berwasiat dengan wasiat yang mencakup semua unsur kebaikan kepada orang yang diberi wasiat, sebagaimana Nabi Ya’qub 'alaihissalam berwasiat kepada anak-anaknya:

Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allâh telah memilih agama ini bagimu,
maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.
(QS al Baqarah/2:132)
Nabi Ya’qub 'alaihissalam berwasiat kepada mereka dengan sebuah wasiat yang menyentuh dan agung, agar mereka memilih Islam sebagai agama dan tidak mati kecuali dalam keadaan Islam.
Demikian juga Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam seakan-akan menyatakan kepada para sahabatnya, bahwa Allâh telah memilihkan Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam untuk kalian (wahai para sahabat) sebagai agama dan pedoman hidup; maka berpegang-teguhlah dan gigitlah Sunnah tersebut. Nasihat ini memiliki arti penting bagi kehidupan pribadi muslim dan kehidupan umat Islam.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam wasiat ini menjelaskannya dalam beberapa tahapan.
Wasiat pertama, adalah wasiat bertakwa kepada Allâh, dalam sabdanya:

Kalian wajib bertakwa kepada Allâh
Maknanya, konsistenlah kalian dalam ketakwaan kepada Allâh Ta'ala.
Inti ketakwaan adalah ilmu, ittiba’ dan ikhlash. Tidak mungkin seseorang dapat merealisasikan ketakwaan kepada Allâh, kecuali dengan tiga perkara yang menjadi rukun takwa ini, yaitu ikhlas, ittiba’ dan ilmu.
Oleh karena itu, ketika sebagian Tabi’in ditanya tentang masalah fitnah Ibnu al-Asy’ats, ia menjawab:
“Padamkanlah dengan ketakwaan kepada Allâh!”
Ketika ditanya tentang takwa, Tabi’in tersebut menjawab:
“Engkau mentaati Allâh berdasarkan cahaya petunjuk dari Allâh karena mengharap pahala Allâh, dan meninggalkan kemaksiatan berdasarkan cahaya petunjuk dari Allâh karena takut adzab Allâh”.
Jadi, takwa tidak bisa lepas dari cahaya, yaitu ilmu. Dengan demikian Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam membimbing mereka, pertama kali, agar berpegang teguh pada ilmu. Karena ketakwaan adalah kunci keadilan. Dan keadilanlah yang menegakkan kekuasaan.
Keadilanlah yang dapat membangun kejayaan umat. Dan keadilanlah yang menyebabkan Allâh memenangkan negara kafir yang adil atas negeri muslim yang zhalim.
Kalian wajib bertakwa kepada Allâh, karena orang yang bertakwa kepada Allâh adalah yang orang adil terhadap dirinya sendiri, terhadap kaumnya dan terhadap musuh-musuhnya.
Allâh berfirman:

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
(QS al Maidah/5:8)
Kemudian Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mewasiatkan, agar mereka mendengar dan taat walaupun yang memimpin adalah seorang budak habasyi.
Mendengar dan taat merupakan perintah pertama Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Arti mendengar ialah mendengarkan Allâh dan Rasul-Nya. Yaitu mendengarkan serta memperhatikan kitab Allâh dan Sunnah Rasûlullâh. Maksudnya, kalian dengarkan firman Allâh Ta'ala lalu taatilah. Dan kalian dengarkan sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam lalu ikutilah.
Di antara yang diperintahkan Allâh dan Rasul-Nya, ialah mentaati pemerintah kita, sebagaimana firman Allâh:

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasul(-Nya),
dan ulil amri di antara kamu.
(QS an-Nisa‘/4:59)
Mentaati pemerintah adalah perkara penting dalam kehidupan seorang muslim dan umat, karena pemerintah merupakan tempat bersatunya umat. Juga, karena penguasa dapat menjaga ekstensi umat.
Oleh karena itu, Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib radhiyallâhu'anhu berkata:
“Harus ada pemerintah, jahat atau baik!”
Para sahabat Ali bertanya:
“Pemerintah yang baik telah kami fahami sifatnya, tetapi bagaimana dengan yang fajir (jahat)?”
Beliau radhiyallâhu'anhu menjawab :
“Digunakan untuk memerangi musuh, menegakkan hudud (hukum-hukum pidana), membagi harta rampasan perang, dan mengamankan jalan-jalan”.
Jadi, suatu pemerintahan baik adil ataupun fajir (jahat) dapat menjaga eksistensi umat dan menjaga keamanan, serta melestarikan keistimewaan umat.
Oleh karena itu Anda mentaatinya bukan karena pribadinya, atau dzatnya, atau (nasab) garis keturunan. Akan tetapi mentaatinya, karena kedudukan yang Allâh Ta'ala berikan sebagai pemimpin umat.
Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyatakan:
“Dengarlah dan taatlah, walaupun ia seorang budak habasyi.”
Pengertiannya, kalian dengar dan taat kepada pemerintah walaupun ia seorang budak habasyi. Seorang budak habasyi tidak mungkin menjadi penguasa, kecuali dengan cara merebut kekuasaan; karena imamah hanya terjadi dengan (memilih) orang Quraisy. Bagaimana budak habasyi menjadi penguasa (imam)? Tidak mungkin, kecuali dengan cara merebut kekuasaan.
Oleh karena itu, ulama Ahlu Sunnah sepakat, apabila orang dapat meraih kekuasaan dengan kekuatan dan dapat bertahan, maka wajib ditaati dalam rangka mentaati Allâh Ta'ala dan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Lihatlah keadaan orang-orang zaman sekarang dan keadaan sebagian kelompok yang tergesa-gesa dan memberontak kepada pemerintahannya walaupun para penguasa itu jahat, zhalim dan melampaui batas. Ternyata, sungguh hasilnya sangat menyedihkan, membuat hati hancur dan meneteskan air mata penyesalan dan kerugian, karena mereka menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Kemudian Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Karena barangsiapa yang hidup dari kalian setelahku,
maka akan melihat perselisihan yang banyak.
Ini termasuk mu’jizat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Adalah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah mengkhabarkan kepada para sahabatnya, bahwa yang masih hidup dan berusia panjang akan mendapati perselisihan dan perpecahan yang banyak pada umat ini.
Perpecahan dan perselisihan pada umat ini sudah tampak sejak terbunuhnya Amirul Mukminin Umar bin al Khaththab radhiyallâhu'anhu, karena beliau adalah pintu yang menghalangi umat dari fitnah-fitnah, sebagaimana diberitakan Hudzaifah radhiyallâhu'anhu ketika ia berkata kepadanya:
“Sungguh antara dirimu dengan fitnah itu ada pintu”.
Lalu Umar bertanya:
“Apakah pintu itu hancur, ataukah terbuka?”
Hudzaifah menjawab:
“Hancur”.
Umar berkata:
“Seandainya terbuka, maka sungguh aku akan menutupnya kembali”.
Umar bin al Khaththab radhiyallâhu'anhu yang berjuluk al Faruq dibunuh Abu Lu’lu’ah al-Majusi dengan menusuk beliau pada saat melaksanakan shalat Shubuh. Lalu Abu Lu’lu’ah inipun terbunuh.
Begitulah para pengikut Abu Lu’lu’ah ini dari kalangan Rafidhah dan orang-orang Shafawi, (mereka) senantiasa terus membunuh dan memerangi pengikut Umar radhiyallâhu'anhu dan orang yang berjalan pada manhajnya. Mereka memerangi dengan nama etnis, suku dan tempat tinggal.
Kemudian fitnah besar setelah ini adalah terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallâhu'anhu, (yaitu) pada saat beliau berpuasa, membaca al-Qur`an dan mengharap pahala Allâh Ta'ala, (yang) dilakukan oleh orang-orang Khawarij. Mereka sebelumnya telah berkumpul mengepung rumah khalifah lalu membunuh beliau radhiyallâhu'anhu.
Setelah itu, terbukalah pintu keburukan dan terjadilah pertumpahan darah hingga umat terpecah-pecah menjadi golongan, sekte dan aliran yang banyak. Sampai akhirnya menjadi pecahan pasukan-pasukan (negara-negara) kecil, sebagaimana yang diberitakan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya:

Umat ini akan menjadi kelompok-kelompok tentara (negara-negara) kecil.
Satu kelompok tentara (negara) di Syam. Satu kelompok tentara di Iraq,
dan satu kelompok tentara (negara) di Yaman.
(HR Abu Dawud)
Umat berpecah-belah menjadi aliran, sekte, kelompok, golongan dan madzhab, sebagaimana diberitakan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

Umatku akan pecah menjadi 73 golongan.
(HR Abu Dawud)
Umat ini terpecah, dengan sebab tipu daya Majusi dan Yahudi. Keduanya yang menyalakan api fitnah Rafidhah dan Khawarij melalui ‘Abdullah bin Saba’ al Yahudi.

Maka ia akan melihat perselisihan yang banyak
(Maksudnya), terjadilah apa yang telah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam beritakan. Kemudian beliau tunjukkan jalan keluar dari fitnah. Jalan keluar dari fitnah dan solusi dari perkara sulit ini adalah sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:

Maka wajib bagi kalian berpegang teguh kepada Sunnahku
dan Sunnah para khulafaur-rasyidin al mahdiyyin (yang memberi petunjuk) setelahku,
dan gigitlah dengan gigi geraham.
Beliau membimbing umat untuk senantiasa berpegang teguh pada perkataan, perbuatan dan persetujuan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan Sunnah beliau; Sunnah yang merupakan pedamping serta penyerta al-Qur‘an. Rasûlullâh juga membimbing umatnya untuk berpegang pada Sunnah beliau dalam arti umum. Yaitu Sunnah dalam arti manhaj dan syari’atnya, yang beliau bawa dari sisi Allâh Ta'ala.
Inilah yang disampaikan kepada kita oleh para sahabat dan para salafush-shalih. Karena pada merekalah al-Qur‘an turun, dan kepada merekalah Rasûlullâh menyampaikan Sunnah, sehingga mereka menjadi generasi yang paling mengetahui firman Allâh dan Sunnah Rasul-Nya.
Tidak ada lain bagi umat yang menginginkan jalan keluar dan solusi dari fitnah dan perkara sulit ini, kecuali dengan ilmu yang shahih, yang berpijak pada Sunnah Rasûlullâh dan Sunnah para salafush-shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan orang yang mengikuti manhaj, serta berjalan pada jalan mereka sampai hari ini.
Kemudian Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam membimbing umat ini untuk menjauhi bid’ah dan hawa nafsu dalam sabdanya:

Jadi solusinya adalah Sunnah dan manhaj para sahabat, yaitu mengikuti al-Qur‘an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat, tabi’in, serta orang yang berjalan mengikuti manhaj mereka sampai hari ini. Solusinya, bukan seperti yang dikatakan oleh sebagian kelompok dan jama’ah dakwah, bahwa solusinya adalah Islam.
Benar, memang Islam adalah solusi, namun Islam yang bagaimana? Islam versi Rafidhah, Khawarij, Murji’ah, sufi, sekuler atau versi pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah? Islam yang bagaimanakah yang kalian inginkan? Islam yang bagaimanakah yang kalian ridhai? Padahal pada saat yang sama, kalian lalai terhadap Islamnya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Islamnya Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallâhu'anhum.
Benar, Islam adalah solusi bila sesuai dengan pemahaman Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallâhu'anhum, serta seluruh sahabat Rasûlullâh. Bukan Islam adat-istiadat dan hawa nafsu. Bukan pula Islam tarekat dan ahli bid’ah seperti kata tokoh besar mereka: “Kami inginkan Islam dengan segala warna dan ragamnya”.
Tidak demikian! Kami hanya menginginkan Islamnya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali. Inilah Islam yang kita inginkan dan kita maksudkan. Jika Islam yang dimaksud berjalan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, niscaya akan menjadi jalan keluar, menjadi solusi dari fitnah dan problematika umat ini.
Kami memohon kepada Allâh untuk memenangkan Islam dan kaum Muslimin, menyatukan kalimat orang-orang yang bertauhid, menghinakan orang kafir, menolak tipu daya orang Rafidhah dan penyembah salib, serta melindungi para saudara kita seiman di manapun berada. Sesungguhnya Allâh Maha Kuasa atas semua itu.
http://majalah-assunnah.com/images/naskah/garis.gif
* Ceramah Fadhilatusy-Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali rahimahullâh, sebagai penceramah kedua di Masjid Istiqlal, Jakarta, hari Sabtu 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M. Kandungan ceramah ini merupakan rangkaian dari ceramah sebelumnya yang telah disampaikan Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari pada sesi pertama. Diterjemahkan dan takhrij hadits oleh Abul ‘Abbas Kholid Syamhudi, disunting oleh Tim Redaksi Majalah As-Sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar