Sabtu, 16 April 2011

Hukum Mengingkari Siksa Kubur


Banyak sekali masalah-masalah keagamaan yang perlu kita bahas, sedang waktu dan tempat amat terbatas bagi kita. Namun kru buletin mungilAl-Atsariyyah masih tetap setia menemani Anda dalam rubrik fatwa.
Kali ini kami akan menurunkan fatwa: “Hukum Mengingkari Siksa Kubur”, “Pintu Ijtihad Belum Tertutup”, dan “Hukum Taqlid”. 
Hukum Mengingkari Siksa Kubur
Siksa kubur adalah perkara yang pasti ada. Perkara ini termasuk masalah aqidah yang telah lama diyakini oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan pengikutnya.
A’isyah -radhiyallahu ‘anha- menuturkan,
أَنَّ يَهُوْدِيَّةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا فَذَكَرَتْ عَذَابَ الْقَبْرِ. فَقَالَتْ لَهَا: أَعَاذَكِ اللهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ . فَسَأَلَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنْ عَذَابِ الْقَبْرِ, فَقَالَ: ( نَعَمْ, عَذَابُ الْقَبْرِ حَقٌ ) . قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ صَلَّى صَلاَََةً إِلاَّ تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Seorang wanita Yahudi pernah masuk menemui A’isyah. Wanita itu menyebutkan siksa kubur seraya berkata kepada A’isyah, “Semoga Allah menjagamu dari siksa kubur. Kemudian A’isyah bertanya (kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ) tentang siksa kubur, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Ya, siksa kubur benar ada”. A’isyah berkata, “Aku tak pernah melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sholat setelah itu, kecuali beliau meminta perlindungan dari siksa kubur”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (1372)]
Kemudian dekade terakhir ini, muncul sekelompok manusia dari kalangan Hizbut Tahrir (HTI) yang berusaha menolak hadits ahad dalam masalah aqidah sehingga mereka banyak mengingkari aqidah (keyakinan) yang ada dalam hadits-hadits ahad tersebut, seperti masalah siksa kubur. Orang-orang Hizbut Tahrir telah mengingkari aqidah adanya siksa kubur !! Ini adalah paham sesat yang telah diusung sebelumnya oleh pendahulu mereka dari kalangan sekte sempalan, Mu’tazilah !!!
Ada yang pernah menyoal perkara ini kepada para ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Apa hukumnya mengingkari siksa kubur dengan dalih bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan siksa kubur adalah hadits-hadits ahad. Sedang hadits ahad tidak boleh dipegangi sama sekali dalam perkara aqidah?”
Para ulama’ Ahlus Sunnah yang tergabung dalam Lembaga Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imahmemberikan jawaban kepada si Penanya setelah memuji Allah, dan bersholawat kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, “Jika telah nyata sebuah hadits ahad dari Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka hadits itu adalah hujjah dalam perkara yang ia tunjukkan dalam hal aqidah, maupun amaliah berdasarkan ijma’ (kesepakatan) Ahlus Sunnah. Barangsiapa yang mengingkari hadits ahad setelah tegaknya hujjah atas dirinya, maka ia kafir !! Rujuk masalah ini dalam kitab Ash-Showa’iq karya Ibnul Qoyyim, atau Mukhtashor-nya karya Al-Maushiliy. Wabillahit taufiq, washollallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam “. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (5/13)]
Pintu Ijtihad Belum Tertutup bagi Ahlinya (Ulama’)
Sebagian orang menyangka bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Artinya, para ulama’ tidak perlu lagi berusaha menggali dan mengkaji Al-Qur’an dan Sunnah, tapi mencukupkan diri dengan ijtihad yang pernah dilakukan oleh para ulama’ terdahulu.
Ini adalah opini yang keliru. Bahkan para ulama’ boleh berijtihad sesuai dengan kaedah-kaedah Syari’at, seperti Kaedah Ushul Fiqih, Kaedah Mushtolah Hadits, Al-Jarh waAt-Ta’dil, Qowa’id Fiqhiyyah, bahasa Arab, Kaedah Nasikh-Manshukh, ijma’-ijma’ para ulama’. Adapun selain ulama’ yang tidak mengetahui kaedah-kaedah tersebut, maka tak layak baginya berijtihad, seperti kondisi kebanyakan cendekiawan kita, dan juga orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal) serta Ahmadiyyah. Mereka adalah orang-orang jahil, dan menyempal.
Berijtihad bukanlah berarti mengotak-atik wahyu, dan memplintirnya sesuai hawa nafsu kita, walaupun hal itu bertentangan dengan wahyu itu sendiri sebagaimana yang sering dilakukan oleh orang-orang JIL yang pandir.
Adapun para ulama’, maka mereka boleh berijtihad. Pintu ijtihad belum tertutup bagi mereka. Para ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa dalam hal ini secara resmi, “Pintu ijtihad belum tertutup, bahkan masih terbuka bagi para ahli ilmu dan iman (para ulama’), serta memiliki ilmu tentang Kitabullah, dan Sunnah Rasul-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, serta ucapan para salaf dari kalangan sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dari kalangan ulama’. Adapun orang yang tidak demikian halnya (yakni, bukan ulama’), maka kewajiban dirinya adalah bertanya kepada para ulama’ sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama’”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (5/18)]
Jadi, pintu ijtihad masih terbuka bagi para ulama yang ahli, dan paham kaedah-kaedah syari’at; namun tertutup bagi orang-orang jahil.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ, فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ, فَلَهُ أَجْرَانِ. وَإِذَا حَكَمَ, فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ, فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim (ulama’) hendak memutuskan (suatu perkara), lalu ia berijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika mau memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian keliru, maka ia akan mendapatkan satu pahala”. [HR. Al-Bukhoriy (7352), dan Muslim (1716)]
Dalam hadits ini Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak membatasi waktu bagi seorang hakim (ulama) dalam berijtihad. Selama mereka memiliki kemampuan berijtihad, maka pintu ijtihad terbuka bagi mereka, baik dulu, sekarang, maupun seterusnya.
Faedah : Di dalam hadits ini disebutkan kata “hakim”. Maka yang dimaksud dengan “hakim” disini adalah ulama’, karena dahulu yang diangkat jadi hakim adalah para ulama’. Berbeda dengan hakim-hakim pada hari ini, maka mereka umumnya jahil tentang agama Allah!!
Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, “Para ulama berkata, “Kaum muslimin bersepakat bahwa hadits ini berkenaan dengan hakim yang ulama, punya keahlian dalam memberikan keputusan. Jika ia benar, maka meraih dua pahala: sebuah pahala atas ijtihadnya, dan sebuah pahala atas kebenarannya. Jika ia keliru, maka ia hanya meraih satu pahala atas ijtihadnya. Para ulama’ itu berkata, “Adapun hakim yang tidak memiliki keahlian dalam memutuskan perkara (yakni, ia bukan ulama’), maka tak halal baginya memberikan keputusan. Jika ia memutuskan perkara, maka ia tak akan mendapatkan pahala, bahkan ia berdosa”. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim Ibn Al-Hajjaj (12/13)]
Al-Imam Ibnul Mundzir-rahimahullah- berkata, “Hanyalah seorang hakim diberi ganjaran, saat ia keliru, apabila ia adalah seorang ulama’ dalam berijtihad, lalu ia berijtihad. Adapun jika ia bukan ulama’, maka tidak demikian halnya”. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (13/319)]
Jika seorang hakim memutuskan perkara, tanpa ilmu, atau ia seorang yang jahil, maka ia tak akan mendapatkan pahala, bahkan mendapatkan dosa !!
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda,
الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: وَاحِدٌ فَيْ الْجَنَّةِ, وَاثْنَانِ فِيْ النَّارِ, فَأَمَّا الَّذِيْ فِيْ الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ, فَقَضَى بِهِ. وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ, فَجَارَ فِيْ الْحُكْمِ, فَهُوَ فِيْ النَّارِ. وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ, فَهُوَ فِيْ النَّارِ
“Hakim ada tiga macam: Salah satunya di Jannah (surga), dan dua di neraka. Adapun yang di surga, maka ia adalah seorang yang mengetahui kebenaran, lalu ia memutuskan perkara dengannya. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu ia curang dalam memutuskan perkara, maka ia di neraka. Seorang hakim memutuskan perkara manusia atas dasar kejahilan, maka ia juga dalam neraka”. [HR. Abu Dawud (3573), At-Tirmidziy (1322), dan Ibnu Majah (2315). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3735)]
Taqlid kepada Al-Imam Asy-Syafi’iy, Boleh ?
Sebagian kaum muslimin pada hari ini bertaqlid buta kepada sebagian ulama. Mereka tak mau tahu apakah ucapan imam yang mereka ikuti sesuai dengan kebenaran ataukah tidak ?! Yang jelas ini adalah pendapat ulama’ fulan.
Realita seperti ini merambat ke negeri kita, Indonesia dengan adanya orang yang ta’ashshub (fanatik) kepada Al-Imam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- sehingga segala ucapan Asy-Syafi’iy mereka terima mentah-mentah, tanpa memperhatikan apakah ucapan beliau sesuai al-haq atau tidak ? Sebaliknya, semua ucapan ulama selain ucapan Asy-Syafi’iy, mereka tolak, walapun ucapan itu didasari oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Fakta dan fenomena seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, di negeri lain juga terjadi, seperti di Maroko, Al-Jaza’ir, Mauritania, dan lain. Mereka taqlid kepada Al-Imam Malik -rahimahullah-.
Benarkah seorang boleh taqlid buta kepada Al-Imam Asy-Syafi’iy atau Al-Imam Malik bin Anas -rahimahullah- atau tidak ?!
Seorang Penanya pernah melayangkan pertanyaan ke Al-Lajnah Ad-Da’imah, “Apa hukumnya orang yang taqlid kepada Al-Imam Malik dalam segala ijtihadnya, serta meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah?”
Maka para ulama’ kita yang duduk dalam Al-LajnahAd-Da’imah menjawab, “Malik -rahimahullah- adalah seorang imam diantara para imam dalam ilmu. Beliau adalah manusia biasa; bisa berbuat keliru, dan benar. Ucapannya boleh dipegangi, dan boleh pula ditolak. Apa saja (diantara ucapannya) yang mencocoki kebenaran, maka harus diterima. Yang tidak cocok dengan kebenaran, maka ditinggalkan. Seorang manusia jika mampu mengambil hukum dari Al-Qur’an, dan Sunnah, maka ia tak boleh taqlid kepada siapapun. Jika ia tak mampu, dan ada perkara agama yang bermasalah bagi dirinya, maka hendaknya ia bertanya kepada ulama’ yang paling terpercaya baginya, dan mengamalkan jawabannya.. Imam Malik, dan lainnya dalam hal itu sama”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (5/27)]
Taqlid bukanlah merupakan suatu hal yang wajib kepada seorang pun selain kepada Rasulullah -Shallallahu alaih wasallam-, karenanya Al-Imam Malik-rahimahullah- sendiri pernah berkata,
كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ, إِلاَّ صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Setiap orang boleh diambil ucapan dan pendapatnya, dan juga boleh ditinggalkan kecuali penghuni kubur ini (yakni Nabi) -Shollallahu ‘alaihi wasallam-” . [Lihat Ar-Rodd Al-Wafir (hal. 95) karya Ibnu Nashiriddin Ad-Dimasyqiy]
Jadi, setiap orang bisa diambil ucapannya, ketika sesuai dengan Sunnah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, bahkan itu wajib setelah nyata kebenarannya. Namun apabila tidak sesuai dengan Sunnah, maka harus dilemparkan jauh-jauh ucapan orang tersebut.
Al-Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata,
كُلُّ مَا قُلْتُ, فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ, فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ
“Setiap yang saya ucapkan, lalu di sana ada hadits yang shohih dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menyelisihi ucapanku, maka hadits Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- lebih utama (engkau pegangi), dan janganlah engkau taqlid kepadaku”. [HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (15/9/2) via Shifah Ash-Sholah (hal. 52)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, “Apabila ada suatu permasalahan yang menimpa seorang muslim, maka ia meminta fatwa seorang ulama yang diyakini bahwa dia (ulama itu) akan memberinya fatwa berdasarkan syari’at Allah dan Rasul-Nya dari madzhabmanapun. Tidaklah wajib atas seorang di antara kaum muslimin untuk taqlid kepada pribadi tertentu di antara ulama dalam segala yang ia katakan. Tidak wajib atas seorang di antara kaum muslimin untuk melazimi madzhab pribadi tertentu, selain Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam segala yang beliau wajibkan dan kabarkan. Bahkan setiap orang di antara manusia boleh diambil (dipegangi) di antara ucapannya atau ditinggalkan kecuali Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam-”. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (20/209)]
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 77 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1399
http://almakassari.com/?p=318

Tidak ada komentar:

Posting Komentar