Ngalap berkah alias mencari berkah ( التَّبَرُّكُ ) merupakan ibadah yang harus didasari keikhlasan dan ilmu, sebab sebagian orang salah dalam memahami makna ngalap berkah. Mestinya seseorang mencari berkah dari Allah -Ta’ala-, tapi mereka mencari berkah pada makhluk, dan tempat-tempat yang tidak dibenarkan oleh Allah -Azza wa Jalla-.
Realita ngalap berkah yang salah dan batil seperti ini, amat banyak kita temukan di bawah kolong langit. Tidak usah jauh melihat, lirik saja pemandangan aneh di Solo dengan adanya sekelompok manusia yang ngalap berkah (mencari berkah) dari seekor kerbau bernama “Kiyai Slamet”. Sedihnya, mereka berebutan kotoran si kerbau dengan anggapan bahwa kotoran itu memiliki berkah yang bisa mendatang kebaikan dan menolak bala’. Na’udzu billah minasy syirki wa ahlihi.
Toleh saja kepada sekelompok manusia yang mengaku muslim saat mereka mendatangi kuburan orang-orang yang dianggap sholeh alias wali-wali, seperti kuburan Wali Songo, kuburan Syaikh Yusuf (Gowa, Sulsel). Mereka mendatangi kuburan-kuburan itu dengan meyakini bahwa penghuni kuburan memiliki berkah yang layak dicari dan diminta dari mereka. Demi mendapatkan berkah ini, disana mereka melakukan berbagai macam ritual ibadah yang tak pernah Allah perintahkan untuk dilakukan, seperti menyirami kuburan “wali-wali” tersebut dengan wewangian bercampur air, menabur bunga di atasnya, mengusap nisannya, membaca Al-Qur’an dan lainnya, melaksanakan sholat sunnah, bernadzar, menyembelih hewan ternak, berdoa di sisinya, dan banyak lagi macam ibadah dilakukan disana. Semua ini mereka lakukan sebagai bentuk ngalap berkah ( التَّبَرُّكُ ) dari selain Allah -Ta’ala-. Allah tak pernah memerintahkan hal tersebut, sebab itu adalah kesyirikan yang dahulu dilakoni oleh kaum Quraisy.
Para pembaca yang budiman, BERKAH ( الْبَرَكَةُ ), bila ditilik maknanya, maka ia berarti banyaknya, tetapnya, dan kontinyunya sesuatu yang memiliki kebaikan. Dengan kata lain, berkah itu adalah kebaikan yang banyak dan kontinyu pada sesuatu. [Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 160) oleh Syaikh Sholih bin Abdil Aziz At-Tamimiy, dan Tahdzib Al-Lughoh (3/373)]
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menerangkan bahwa berkah hanyalah berasal dari Allah -Azza wa Jalla-. Dialah yang berhak memberikan berkah kepada sesuatu, bukan makhluk !!! Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Maha Berkah Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”.(QS. Al-Furqon : 1)
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman tentang Nabi Ibrahim,
“Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan diantara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata”.(QS. Ash-Shooffat : 113)
Allah Robbul alamin berfirman,
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”. (QS. Maryam : 31)
Tiga ayat di atas adalah dalil qoth’iy yang menunjukkan bahwa yang memberikan berkah (kebaikan yang banyak) kepada makhluk, hanyalah Allah -AzzawaJalla-, bukan makhluk. Ayat-ayat mulia ini merupakan bantahan keras atas para kiyai dan anre guru (sebutan kiyai di Sulsel) yang mengajarkan kepada para muridnya untuk mencari berkah dari sang kiyai saat mereka berjabat tangan dengan si kiyai atau menyentuh badannya.
Ketahuilah bahwa seseorang tak boleh menetapkan adanya berkah pada sesuatu, kecuali berdasarkan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun kiyai, maka tak ada dalil yang menunjukkan adanya berkah pada tangan dan tubuh mereka. Jika ada yang menetapkannya pada si kiyai, maka ia adalah seorang pendusta lagi menyalahi petunjuk wahyu.
Ngalap berkah dari sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dibolehkan oleh Allah merupakan kebiasaan kaum musyrikin pada berhala-berhala mereka. Kaum musyrikin dahulu, mereka mencari berkah pada Laata, Uzza, Manaat, dan lainnya.
Allah -Ta’ala- berfirman menyinggung sembahan-sembahan batil yang biasa diharapkan berkahnya oleh orang-orang Quraisy,
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Laata dan Uzza, serta Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka”. (QS. An-Najm : 19-23)
Tahukah kalian siapakah ketiga sembahan-sembahan batil ini??! Silakan dengar jawabannya dari pemaparan Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- dalam Tafsir-nya, “Laata adalah sebuah batu putih yang terukir. Di atasnya terdapat sebuah rumah (bangunan) yang memiliki kelambu dan penjaga (security). Di sekitarnya terdapat pekarangan yang diagungkan oleh penduduk Tha’if, yaitu suku Tsaqif, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Mereka membangga-banggakan Laata atas suku lain di antara suku-suku Arab setelah Quraisy”. [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (7/455)]
Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa Laata adalah kuburan seorang laki-laki yang dahulu menumbuk gandum untuk para jama’ah haji di zaman jahiliyah. Ibnu Abbas -radhiyallahuanhuma- berkata,
كَانَ يَلُتّ السَّوِيق عَلَى الْحَجَر فَلَا يَشْرَب مِنْهُ أَحَد إِلَّا سَمِنَ ، فَعَبَدُوهُ
“Laata adalah seorang laki-laki yang biasa menumbuk gandum di atas batu. Tak ada seorang pun yang minum darinya, kecuali ia akan menjadi gemuk. Akhirnya, merekapun menyembah Laata”. [HR. Ibnu Abi Hatim sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari (8/612)]
Dua pendapat ini tidaklah bertentangan, sebab orang yang menyatakan bahwa Laata adalah sebuah batu putih tidaklah menyelisihi orang yang menyatakan Laata adalah kubur atau penghuninya. Boleh jadi, batu itu adalah batu nisan yang diletakkan di atas kubur sehingga jika seseorang mengagungkan batu itu, maka secara tak langsung ia telah mengagungkan penghuninya. [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 137) oleh Syaikh Sulaiman bin Abdillah At-Tamimiy, cet. Alam Al-Kutub, dengan tahqiq Muhammad Aiman bin Abdillah As-Salafiy, 1419 H]
Sedang Manat adalah sebuah arca milik suku Hudzail dan Khuza’ah di daerah Qudaid yang terletak antara Makkah dan Madinah [Lihat An-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits (4/808) oleh Ibnul Al-Atsir]
Adapun Uzza, kata Ibnu Jarir -rahimahullah-, “Uzza adalah sebuah pohon. Di atasnya terdapat bangunan dan kelambu yang terletak di daerah Nakhlah antara Makkah, dan Tha’if . Dahulu orang-orang Quraisy mengagungkannya”. [Lihat Jami' Al-Bayan fi Tafsir Ayil Qur'an ()]
Pohon sembahan inilah yang telah ditebas oleh Panglima Islam, Kholid bin Al-Walid atas perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
Dari Abu Ath-Thufail, ia berkata,
لمَاَّ فَتَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ إِلَى نَخْلَةَ وَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ وَكَانَتْ عَلَى ثَلاَثِ سَمُرَاتٍ, فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهَا, ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: اِرْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا, فَرَجَعَ خَالِدٌ, فَلَمَّا أَبْصَرَتْ بِهِ السَّدَنَةُ وَهُمْ حَجَبَتُهَا أَمْعَنُوْا فِي الْجَبَلِ وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ: يَا عُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ, فَإِذَا هِيَ امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ نَاشِرَةٌ شَعْرَهَا تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا, فَعَمَّمَهَا بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا, ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: تِلْكَ الْعُزَّى
“Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah merebut kota Makkah, maka beliau mengutus Kholid bin Al-Walid ke daerah Nakhlah, sedang di sana terdapat Uzza. Kholid pun mendatanginya, dan Uzza berupa tiga pohon berduri. Kemudian Kholid menebas pohon-pohon tersebut, dan merobohkan bangunan yang terdapat di atasnya. Lalu ia mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu kepada beliau. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Kembalilah, karena engkau belum berbuat apa-apa”. Kholid pun kembali. Tatkala ia dilihat para security (para penjaga) Uzza, maka mereka mengintai di atas gunung seraya mereka berkata, “Wahai Uzza”. Kemudian Kholid mendatangi Uzza, tiba-tiba ada seorang wanita telanjang yang mengurai rambutnya sambil menaburkan debu di atas kepalanya. Akhirnya Kholid menebas wanita itu dengan pedang sehingga ia membunuhnya. Beliaupun kembali ke Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Itulah Uzza”. [HR. An-Nasa'iy dalam As-Sunan Al-Kubro (6/474/no. 11547), dan Abu Ya'laa Al-Maushiliy dalam Al-Musnad (no. 902). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Ali bin Sinan dalam Takhrij Fath Al-Majid (no. 103)]
Hadits ini merupakan dalil bahwa jika ada sebuah pohon yang dikeramatkan, disembah, dan diharapkan berkah atau kebaikannya, maka diwajibkan bagi penguasa muslim untuk menebangnya demi menutup pintu kesyirikan. Karena mengagungkan suatu pohon dan mengkeramatkannya sehingga diharapkan berkahnya merupakan kebiasaan jahiliyyah yang telah lama dilakukan orang-orang Yahudi, dan kaum paganisme alias penyembah berhala.
Inilah yang pernah diceritakan oleh Abu Waqid Al-Laitsiy -radhiyallahu anhu-,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- keluar menuju Hunain, maka beliau melewati sebuah pohon milik kaum musyrikin yang disebut dengan “Dzatu Anwath (Yang memiliki gantungan)”. Mereka menggantungkan padanya senjata-senjata mereka. Mereka pun berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath”. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Subhanallah, Ini bagaikan sesuatu yang pernah diucapkan kaumnya Musa, “Buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. (QS. Al-A’raaf : 138)
Demi (Allah)Yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidupnya orang-orang sebelum kalian”. [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2180), Ahmad dalam Al-Musnad (5/218), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah (hal. 202)]
Seorang ulama Andalusia, Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Al-Fihriy (wft 530 H) yang dikenal dengan “Ath-Thurthusiy” -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits di atas, “Perhatikanlah –semoga Allah merahmati kalian-, dimanapun kalian temukan sebuah pohon bidara atau pohon apa saja yang didatangi oleh manusia, dan mereka mengagungkan keberadaan pohon itu, mengharapkan kesembuhan darinya, mereka menggantungkan padanya paku-paku dan kain-kain, maka pohon itu adalah Dzatu Anwath. Karena itu, tebanglah pohon itu”. [Lihat Kitab Al-Hawadits wa Al-Bida' (hal. 38-39) oleh Ath-Thurthusiy, dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halabiy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H]
Syaikhul Islam Ahmad Ibnu Abdil Halim An-Numairiy -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa yang mendatangi suatu tempat sedang ia mengharapkan kebaikannya dengan mendatanginya, tapi syari’at tidak menganjurkannya hal itu, maka hal itu termasuk kemungkaran. Sebagiannya lebih parah dari yang lainnya, sama saja apakah tempat itu berupa pohon atau mata air, saluran air, gunung, atau gua; sama saja apakah ia mendatanginya untuk sholat di sisinya, berdoa di sisinya, atau membaca Al-Qur’an di sisinya, berdzikir kepada Allah di sisinya, beribadah (tirakatan) di sisinya, dimana ia telah mengkhususkan tempat itu dengan sejenis ibadah yang tempat itu tak pernah disyari’atkan untuk dikhususkan dengan suatu ibadah, baik tempat itu sendiri atau sejenisnya”. [Lihat Iqtidho Ash-Shiroth Al-Mustaqim (2/118)]
Jadi, mendatangi suatu tempat, baik itu berupa pohon, kuburan, bangunan, dan lainnya dengan niat mencari berkah dan kebaikan merupakan kebiasaan jahiliyah yang harus ditinggalkan seorang muslim, yakni seorang muslim yang mau menapaki jalan dan petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya.
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 128 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar