Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Meluruskan masalah-masalah itu sulit sekali. Mungkin ada yang berlebih-lebihan atau meremehkan dalam menanggapinya. Khususnya orang yang hidup dalam waktu yang lama dalam amalan tertetntu. Bagi mereka telah tampak bahwa perkara itu ada penyimpangan dan syara' menolak, tetapi mereka tetap berpaling dan kembali berbuat yang lebih parah dari yang lalu
Hal ini sebagai pelajaran bagi kita sekarang dan yang akan datang, bila membahas suatu masalah dituntut adanya dalil dalam rangka membersihkan taqlid.
Kaum muslimin hidup dalam waktu yang panjang. Mereka tidak mengenal selain madzhab Fulan dan madzhab Fulan, madzhab empat, madzhab ahlus sunnah wal jama'ah dan atau madzhab yang menyimpang dari ahlus sunnah wal jama'ah. Adapun yang bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah generasi yang telah disaksikan kebaikannya (Salafush Shalih). Kemudian berlalu masa tersebut, sampai zaman Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya. Mereka menyeru kaum muslimin kepada keharusan untuk kembali kepada pemahaman Salafush Shalih dalam hal bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Tidak diragukan bahwa da'wah Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya mempunyai pengaruh yang bagus. Tetapi pada masa itu peranannya sangat kecil dan kejumudan berfikir menguasai beberapa orang terutama orang-orang awam.
Setelah generasi yang dibangunkan oleh Ibnu Taimiyah kaum muslimin kembali kepada kejumudan dalam memahami fiqih, kecuali pada akhir-akhir ini. Banyak sekali ulama yang memperbaharui da'wahnya untuk menggerakkan dan membangunkan manusia untuk kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Diantara ulama yang telah mendahului kita dalam hal ini adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau telah menyeru untuk ittiba' (mengikuti) kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Melihat keadaan penduduk Nejd yang aqidah keberhalaannya telah menguasai negeri mereka maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berusaha dengan gigih memeperbaiki tauhid mereka.
Tabiat manusia kemampuannya terbatas. Mereka tidak sanggup memerangi semua kehinaan sebagaimana yang mereka katakan. Karena itu da'wah beliau bertumpu pada da'wah penyebaran tauhid dan memerangi kesyirikan serta keberhalaan. Sehingga sampailah da'wah yang bagus ke dunia Islam. Walaupun antara beliau dan lawannya terjadi peperangan yang sangat disesalkan. Ini adalah sunnatullah pada makhlukNya dan kamu tidak akan dapat menemui perubahan sunatullah.
Pada saat ini telah banyak ulama yang memperbaharui da'wahnya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Banyak sekali kebangkitan yang nampak dari bebagai kalangan di negeri-negeri Arab. Tetapi sangat disesalkan sekali negara-negara ajam (non Arab) masih nyenyak dalam tidurnya.
Kelemahan bangsa Arab sebagaimana saya tunjukkan tadi, adalah bahwa sebagian mereka masih sepotong-sepotong dalam memahami Islam. Ada yang mengetahui sebagian tetapi bodoh pada bagian yang lain. Maka kita lihat seorang laki-laki umum, yang tidak faham sesuatu sedikitpun apabila bertanya kepada orang alim tentang suatu masalah, dia berkata apa hukumnya ? Sama saja, apakah jawabannya tidak ada atau larangan, dia tergesa-gesa menuntut apa dalilnya ?
Tidak selalu orang alim itu dapat memberikan dalil. Suatu dalil bisa diambil dengan cara istimbat (mengeluarkan dari sumbernya melalui ijtihad untuk menetapkan suatu hukum) dan iqtibas (mengambil faidah dari sumbernya), belum tentu secara jelas dan lugas dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Seperti masalah ini, penanya hendak mengetahui sedalam-dalamnya dengan menanyakan "Apa Dalilnya ?" Seharusnya penanya tahu diri, apakah dia itu ahli dalil atau tidak ? Apa dia telah mempunyai pengenalan dalil yang maknanya umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh ? Sedang dia tidak faham sedikitpun terhadap pengenalan tersebut. Apakah tepat pertanyaan yang disampaikan.. "Apa Dalilnya ??!! Dan mengapa begini ?!". Kami katakan tentang hukum tarian perempuan di depan suaminya, atau di depan saudara perempuannya sesama muslimah, bisa jadi boleh, bisa jadi dilarang ! Dan juga tarian laki-laki, dia menghendaki dalil diatas itu. Pada hakekatnya kami tidak menemukan dalil yang jelas dan gamblang dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dasar tersebut ditemukan dengan istimbat, penelitian dan pemahaman. Karena itu kami katakan, tidaklah setiap masalah harus dijelaskan dalilnya secara rinci, sehingga mudah dipahami oleh setiap muslim. Baik itu orang umum yang buta baca tulis, atau penuntut ilmu. Tidak harus begitu untuk setiap pertanyaan. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Bertanyalah kepada Ahlul ilmi jika kalian tidak tahu" [An-Nahl : 43]
Diantara contoh ekstrim yang telah saya tunjukan tadi, manusia yang paling jahil akan menjadi penentang dalil. Kebanyakan manusia yang menisbatkan dirinya dalam da'wah kepada Al-Kitab dan As-Sunnah menyangka, bahwa orang yang berilmu itu apabila ditanya suatu masalah, dia harus menjawab dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (Al-Qur'an) dan sunnah Rasulullah Shallallahu allaihi wa sallam (As-Sunnah).
Aku (Al-Albani) menjawab bahwa ini tidak wajib. Hal ini merupakan salah satu dari faedah-faedah berintima (cenderung) kepada Salafus Shalih. Jalan mereka dan fatwa-fatwa mereka merupakan dalil bagi perbuatan yang telah saya jelaskan. Jadi wajib menyebutkan dalil ketika masalah itu menuntut adanya dalil. Tapi tidak wajib bagi setiap pertanyan harus dijawab dengan : Kata Allah Subhanahu wa Ta'ala begini atau kata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam begini' . Terlebih masalah ini merupakan masalah hukum yang rumit dan penuh perselisihan di dalamnya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Bertanyalah kepada Ahlul ilmi jika kalian tidak tahu".[An-Nahl : 43]
Ini adalah secara umum. Tidak ada kewajiban kecuali bertanya kepada orang yang kalian duga ahli ilmu. Jika telah dijawab, wajib bagi kalian untuk mengikutinya. Kecuali bila engkau dengan jawaban yang syubhat dari seorang ahli ilmu lainnya, sebaiknya engkau jelaskan yang syubhat itu. Sedangkan orang alim tersebut wajib berusaha dengan kemampuan ilmunya untuk menghilangkan kesyubhatan yang telah tampak pada penanya.
Ringkasnya tarian wanita di depan suaminya dengan batasan yang telah disebut adalah boleh. Adapun tarian wanita di depan anak-anak perempuan, maka ada dua kemungkinan juga, sebagaimana tariian perempuan di depan suaminya. Jika tariannya tidak diiringi dengan kegemaran dan hanya merupakan bagian dari lambaian tangannya, dimana tidak disertai gerakan/ayunan pantat atau sejenisnya yang bisa menggerakkan syahwat atau menimbulkan syubhat. Tarian ini tidak apa-apa, jika memang benar namanya tarian. Apabila terdapat hal-hal selain yang disyaratkan di atas, maka larangan merupakan hukum asal
[Disunting dari sebagian jawaban dari pertanyaan Tarian Seorang Wanita dan Laki-laki kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Majalah Al-Ashalah 8/15 Jumadil Akhir 1414H hal. 73. Edisi Indonesia 25 Fatwa Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Muhaimin Abu Najiah, Semarang 1955, dan judul artikel oleh admin]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Meluruskan masalah-masalah itu sulit sekali. Mungkin ada yang berlebih-lebihan atau meremehkan dalam menanggapinya. Khususnya orang yang hidup dalam waktu yang lama dalam amalan tertetntu. Bagi mereka telah tampak bahwa perkara itu ada penyimpangan dan syara' menolak, tetapi mereka tetap berpaling dan kembali berbuat yang lebih parah dari yang lalu
Hal ini sebagai pelajaran bagi kita sekarang dan yang akan datang, bila membahas suatu masalah dituntut adanya dalil dalam rangka membersihkan taqlid.
Kaum muslimin hidup dalam waktu yang panjang. Mereka tidak mengenal selain madzhab Fulan dan madzhab Fulan, madzhab empat, madzhab ahlus sunnah wal jama'ah dan atau madzhab yang menyimpang dari ahlus sunnah wal jama'ah. Adapun yang bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah generasi yang telah disaksikan kebaikannya (Salafush Shalih). Kemudian berlalu masa tersebut, sampai zaman Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya. Mereka menyeru kaum muslimin kepada keharusan untuk kembali kepada pemahaman Salafush Shalih dalam hal bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Tidak diragukan bahwa da'wah Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya mempunyai pengaruh yang bagus. Tetapi pada masa itu peranannya sangat kecil dan kejumudan berfikir menguasai beberapa orang terutama orang-orang awam.
Setelah generasi yang dibangunkan oleh Ibnu Taimiyah kaum muslimin kembali kepada kejumudan dalam memahami fiqih, kecuali pada akhir-akhir ini. Banyak sekali ulama yang memperbaharui da'wahnya untuk menggerakkan dan membangunkan manusia untuk kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Diantara ulama yang telah mendahului kita dalam hal ini adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau telah menyeru untuk ittiba' (mengikuti) kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Melihat keadaan penduduk Nejd yang aqidah keberhalaannya telah menguasai negeri mereka maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berusaha dengan gigih memeperbaiki tauhid mereka.
Tabiat manusia kemampuannya terbatas. Mereka tidak sanggup memerangi semua kehinaan sebagaimana yang mereka katakan. Karena itu da'wah beliau bertumpu pada da'wah penyebaran tauhid dan memerangi kesyirikan serta keberhalaan. Sehingga sampailah da'wah yang bagus ke dunia Islam. Walaupun antara beliau dan lawannya terjadi peperangan yang sangat disesalkan. Ini adalah sunnatullah pada makhlukNya dan kamu tidak akan dapat menemui perubahan sunatullah.
Pada saat ini telah banyak ulama yang memperbaharui da'wahnya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Banyak sekali kebangkitan yang nampak dari bebagai kalangan di negeri-negeri Arab. Tetapi sangat disesalkan sekali negara-negara ajam (non Arab) masih nyenyak dalam tidurnya.
Kelemahan bangsa Arab sebagaimana saya tunjukkan tadi, adalah bahwa sebagian mereka masih sepotong-sepotong dalam memahami Islam. Ada yang mengetahui sebagian tetapi bodoh pada bagian yang lain. Maka kita lihat seorang laki-laki umum, yang tidak faham sesuatu sedikitpun apabila bertanya kepada orang alim tentang suatu masalah, dia berkata apa hukumnya ? Sama saja, apakah jawabannya tidak ada atau larangan, dia tergesa-gesa menuntut apa dalilnya ?
Tidak selalu orang alim itu dapat memberikan dalil. Suatu dalil bisa diambil dengan cara istimbat (mengeluarkan dari sumbernya melalui ijtihad untuk menetapkan suatu hukum) dan iqtibas (mengambil faidah dari sumbernya), belum tentu secara jelas dan lugas dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Seperti masalah ini, penanya hendak mengetahui sedalam-dalamnya dengan menanyakan "Apa Dalilnya ?" Seharusnya penanya tahu diri, apakah dia itu ahli dalil atau tidak ? Apa dia telah mempunyai pengenalan dalil yang maknanya umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh ? Sedang dia tidak faham sedikitpun terhadap pengenalan tersebut. Apakah tepat pertanyaan yang disampaikan.. "Apa Dalilnya ??!! Dan mengapa begini ?!". Kami katakan tentang hukum tarian perempuan di depan suaminya, atau di depan saudara perempuannya sesama muslimah, bisa jadi boleh, bisa jadi dilarang ! Dan juga tarian laki-laki, dia menghendaki dalil diatas itu. Pada hakekatnya kami tidak menemukan dalil yang jelas dan gamblang dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dasar tersebut ditemukan dengan istimbat, penelitian dan pemahaman. Karena itu kami katakan, tidaklah setiap masalah harus dijelaskan dalilnya secara rinci, sehingga mudah dipahami oleh setiap muslim. Baik itu orang umum yang buta baca tulis, atau penuntut ilmu. Tidak harus begitu untuk setiap pertanyaan. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Bertanyalah kepada Ahlul ilmi jika kalian tidak tahu" [An-Nahl : 43]
Diantara contoh ekstrim yang telah saya tunjukan tadi, manusia yang paling jahil akan menjadi penentang dalil. Kebanyakan manusia yang menisbatkan dirinya dalam da'wah kepada Al-Kitab dan As-Sunnah menyangka, bahwa orang yang berilmu itu apabila ditanya suatu masalah, dia harus menjawab dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (Al-Qur'an) dan sunnah Rasulullah Shallallahu allaihi wa sallam (As-Sunnah).
Aku (Al-Albani) menjawab bahwa ini tidak wajib. Hal ini merupakan salah satu dari faedah-faedah berintima (cenderung) kepada Salafus Shalih. Jalan mereka dan fatwa-fatwa mereka merupakan dalil bagi perbuatan yang telah saya jelaskan. Jadi wajib menyebutkan dalil ketika masalah itu menuntut adanya dalil. Tapi tidak wajib bagi setiap pertanyan harus dijawab dengan : Kata Allah Subhanahu wa Ta'ala begini atau kata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam begini' . Terlebih masalah ini merupakan masalah hukum yang rumit dan penuh perselisihan di dalamnya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Bertanyalah kepada Ahlul ilmi jika kalian tidak tahu".[An-Nahl : 43]
Ini adalah secara umum. Tidak ada kewajiban kecuali bertanya kepada orang yang kalian duga ahli ilmu. Jika telah dijawab, wajib bagi kalian untuk mengikutinya. Kecuali bila engkau dengan jawaban yang syubhat dari seorang ahli ilmu lainnya, sebaiknya engkau jelaskan yang syubhat itu. Sedangkan orang alim tersebut wajib berusaha dengan kemampuan ilmunya untuk menghilangkan kesyubhatan yang telah tampak pada penanya.
Ringkasnya tarian wanita di depan suaminya dengan batasan yang telah disebut adalah boleh. Adapun tarian wanita di depan anak-anak perempuan, maka ada dua kemungkinan juga, sebagaimana tariian perempuan di depan suaminya. Jika tariannya tidak diiringi dengan kegemaran dan hanya merupakan bagian dari lambaian tangannya, dimana tidak disertai gerakan/ayunan pantat atau sejenisnya yang bisa menggerakkan syahwat atau menimbulkan syubhat. Tarian ini tidak apa-apa, jika memang benar namanya tarian. Apabila terdapat hal-hal selain yang disyaratkan di atas, maka larangan merupakan hukum asal
[Disunting dari sebagian jawaban dari pertanyaan Tarian Seorang Wanita dan Laki-laki kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Majalah Al-Ashalah 8/15 Jumadil Akhir 1414H hal. 73. Edisi Indonesia 25 Fatwa Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Muhaimin Abu Najiah, Semarang 1955, dan judul artikel oleh admin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar