Memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala adalah ilmu yang paling agung dan mulia dalam Islam[1], sekaligus ilmu yang paling besar manfaatnya untuk kebaikan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah landasan semua ilmu, sekaligus merupakan landasan pemahaman seorang hamba terhadap kebahagiaan, kesempurnaan dan kebaikan (dirinya) di dunia dan akhirat. Ketidakpahaman terhadap ilmu ini akan mengakibatkan ketidakpahaman terhadap kebaikan, kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan diri sendiri. Maka memahami ilmu ini adalah (kunci utama) kebahagiaan seorang hamba, dan ketidakpahaman tentangnya merupakan sumber (utama) kebinasaannya”[2].
Inilah makna firman Allah Ta’ala,
{وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah (tidak mengenal-Nya), maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS al-Hasyr:19).
Oleh karena itu, mempelajari ilmu ini termasuk amal shaleh yang paling besar keutamaannya dalam Islam, sebagaimana beribadah kepada Allah Ta’ala semata-mata adalah amal shaleh yang paling besar keutamaannya[3].
Bahkan ilmu inilah yang disebut “al-fiqhul akbar” (fikih/pemahaman agama yang paling agung), serta yang pertama kali dan paling utama termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Allah akan memahamkannya (ilmu) tentang agama“[4].[5]
Termasuk masalah penting yang dibahas oleh para ulama dalam ilmu yang agung ini adalah mengetahui nama Allah Ta’ala yang paling agung[6], yang jika seorang hamba berdoa dengan nama tersebut maka Allah Ta’ala akan mengabulkan doanya, dan jika dia memohon kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah Ta’ala akan memenuhi permohonannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih yang akan kami sebutkan insya Allah.
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata, “Sebagian orang menyangka bahwa nama Allah Ta’ala yang paling agung dari nama-nama-Nya yang maha indah tidak mungkin diketahui kecuali oleh orang-orang yang dikhusukan Allah dengan karomah yang diluar kewajaran. Ini adalah persangkaan yang keliru, karena sesungguhnya Allah Ta’ala justru menganjurkan kepada kita untuk mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Bahkan) Allah memuji orang yang mengenal dan berusaha memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta berdoa kepada-Nya dengan nama-nama-Nya, (baik) dengan doa ibadah ataupun doa permohonan.
Tidak diragukan lagi, bahwa (mengenal) nama Allah Ta’ala yang paling agung dari nama-nama-Nya yang maha indah adalah yang paling utama dalam masalah ini.
Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah al-Jawwaad (Maha Sempurna kedermawanan dan kebaikan-Nya), yang kedermawanan dan kebaikan-Nya tidak ada batasnya, dan Dia senang melimpahkan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya. Dan termasuk kebaikan paling agung yang dilimpahkan-Nya kepada mereka adalah (dengan) Dia mengenalkan diri-Nya kepada mereka dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi (dalam ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[7].
Dalil-dalil tentang nama Allah Ta’ala yang paling agung
1. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang yang berdoa (dalam shalat),
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ – وفي رواية: وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ – الْمَنَّانُ، يَا بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ ، يَا ذَا الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ – وفي رواية: إِنِّي أَسْأَلُكَ…
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa sesungguhnya segala pujian adalah milik-Mu, tiada sembahan yang benar kecuali Engkau – dalam riwayat lain: satu-satunya dan tiada sekutu bagi-Mu –, Yang Maha Pemberi karunia, wahai Pencipta langit dan bumi, wahai Yang Maha Maha Memiliki keagungan dan kemuliaan, wahai Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri – dalam riwayat lain: sesungguhnya aku meminta kepada-Mu…”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh dia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang paling agung, yang jika seseorang berdoa kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah akan mengabulkan (doanya), dan jika dia meminta kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah akan memenuhi (permintaannya)“[8].
2. Dari Buraidah bin al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang lelaki berkata (dalam doanya),
اللَّهمَّ إِني أسألُكَ بأني أَشْهَدُ أنَّكَ أنْتَ اللهُ ، لا إلهَ إلا أنتَ، الأحَدُ الصَّمَدُ ، الَّذِي لمَ ْيَلِدْ ولم يُولَدْ ، ولم يكن له كُفُوا أحَدٌ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan persaksianku bahwa sungguh Engkau Allah yang tiada sembahan yang benar kecuali Engkau, Yang Maha Esa lagi Maha Sempurna dan bergantung kepada-Nya segala sesuatu, yang tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, serta tiada seorangpun yang setara dengan-Nya”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh dia telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang paling agung, yang jika seseorang meminta kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah akan memenuhi (permintaannya), dan jika dia berdoa kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah akan mengabulkan (doanya)“[9].
3. Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya nama Allah yang paling agung (terdapat) dalam tiga surat dari al-Qur-an: surah al-Baqarah, Ali ‘Imran dan Thaahaa”[10].
Nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagiannya lebih utama dari sebagian lainnya
Hadits-hadits di atas termasuk dari dalil-dalil dalam al-Qur-an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala keutamaan masing-masingnya berbeda-beda dan sebagiannya lebih utama dari sebagian lainnya[11].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ucapan orang yang mengatakan bahwa sifat-sifat Allah tidak berbeda-beda keutamaan (sebagian dari sebagian lainnya) atau ucapan yang semakna dengan itu adalah ucapan yang tidak dilandasi dengan dalil (dari al-Qur-an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)…Siapakah yang menjadikan sifat rahmat-Nya tidak lebih utama dari sifat murka-Nya? Padahal dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis pada sebuah kitab di sisi-Nya di atas ‘Arsy: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku”, dalam riwayat lain: mendahului kemurkaan-Ku[12]…
Sebagaimana nama-nama dan sifat-sifat Allah bermacam-macam maka demikian pula berbeda-beda keutamaan (sebagian dari sebagian lainnya), sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam al-Qur-an, sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ijma’ (kesepakatan kaum muslimin), dan (sesuai) dengan akal (manusia)”[13].
Imam Ibnul Qayyim juga menjelaskan hal ini dalam ucapan beliau, “Sesungguhnya sebagian dari sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala lebih utama dari sebagian (yang lain)…, sebagaimana sifat rahmat-Nya lebih utama daripada sifat murka-Nya, oleh karena itu sifat rahmat-Nya mengalahkan dan mendahului (kemurkaan-Nya).
Demikian pula firman Allah Ta’ala yang (termasuk) sifat-Nya. Sudah dimaklumi bahwa (tentu saja) firman-Nya yang mengandung pujian bagi-Nya, menyebutkan sifat-sifat (kesempurnaan)-Nya dan (kewajiban) mentauhidkan-Nya (mengesakan-Nya dalam beribadah) lebih utama dari pada firman-Nya yang berisi celaan terhadap musuh-musuh-Nya dan penjelasan (tentang) sifat-sifat (buruk) mereka.
Oleh karena itu, surat al-Ikhlash lebih utama daripada surat al-Lahab (al-Masad), dan surat al-Ikhlash sebanding (pahala membacanya) dengan (pahala membaca) sepertiga dari al-Qur-an[14]. (Demikian pula) ayat kursi adalah ayat yang paling utama dalam al-Qur-an[15]…”[16].
Lebih lanjut, syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin merinci penjelasan masalah ini, beliau berkata, “Hadits ini (hadits tentang ayat kursi di atas) menunjukkan bahwa al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain), sebagaimana ini juga ditunjukkan dalam hadits tentang surat al-Ikhlash (di atas).
Pembahasan masalah ini harus diperinci dengan penjelasan berikut: jika ditinjau dari (segi) zat yang mengucapkan/berfirman (dengan al-Qur-an) maka al-Qur-an tidak berbeda-beda keutamaannya, karena zat yang mengucapkannya adalah satu, yaitu Allah Ta’ala. Adapun jika ditinjau dari (segi) kandungan dan pembahasannya maka al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain). Surat al-Ikhlash yang berisi pujian bagi Allah Ta’ala karena mengandung (penyebutan) nama-nama dan sifat-sifat Allah (tentu) tidak sama dari segi kandungannya dengan surat al-Masad (al-Lahab) yang berisi penjelasan (tentang) keadaan Abu Lahab.
Demikian pula al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain) dari segi pengaruhnya (terhadap hati manusia) dan kekuatan/ketinggian uslub (gaya bahasanya). Karena kita dapati di antara ayat-ayat al-Qur-an ada yang pendek tetapi berisi nasehat dan berpengaruh besar bagi hati manusia, sementara kita dapati ayat lain yang jauh lebih panjang, akan tetapi tidak berisi kandungan seperti ayat tadi”[17].
Manakaha nama Allah yang paling agung?
Imam asy-Syaukani berkata, “Telah terjadi perbedaan pendapat (di antara para ulama) tentang penentuan nama Allah yang paling agung dalam sekitar empat puluh pendapat, dan Imam as-Suyuthi telah menulis kitab khusus tentang masalah ini”[18].
Mayoritas pendapat-pendapat tersebut sangat lemah karena tidak dilandasi argumentasi kuat dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm, maupun keterangan dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Tidak ketinggalan pula orang-orang ahli bid’ah dari kalangan ahli tasawuf dan selain mereka, dalam pembahasn masalah ini mereka banyak membawakan keterangan yang batil dan tidak bernilai sama sekali. Bahkan mereka tidak segan-segan menyampaikan hadits-hadits yang palsu, riwayat-riwayat yang dibuat-buat, atau kisah-kisah dusta untuk menguatkan kebatilan mereka, serta untuk memperdaya dan menipu orang-orang awam dan bodoh dari kalangan kaum muslimin[19].
Adapun dalil-dalil dari al-Qur-an dan sunnah Nabi r tidak satupun yang secara jelas dan tegas menentukan apakah nama Allah yang paling agung, oleh karena itu para ulama berijtihad dalam menetukan nama Allah ini[20].
Dan dari semua pendapat dalam masalah ini, hanya tiga pendapat yang paling kuat dan lebih dekat kepada kebenaran, insya Allah. Ketiga pendapat tersebut adalah:
Pendapat pertama: nama-Nya yang paling agung adalah “Allah”
Pendapat ini dipilih oleh beberapa ulama Ahlus sunnah, seperti imam Jabir bin Zaid al-Azdi[21], imam ‘Amir bin Syurahil asy-Sya’bi[22] dan imam Abu Abdillah Ibnu Mandah[23].
Imam Abu Abdillah Ibnu Mandah berkata: “Nama-Nya “Allah” adalah pengenalan terhadap zat-Nya (yang maha mulia), Allah Ta’ala mengharamkan menggunakan nama ini untuk siapapun dari makhluk-Nya atau dipanggil dengan nama ini sesembahan selain-Nya. Allah menjadikannya sebagai permulaan iman , tiang penopang Islam, kalimat kebenaran dan ikhlas, serta penolak sekutu dan tandingan bagi-Nya. Orang yang mengucapkannya akan terlindung dari pembunuhan (dihalalkan darahnya), dengannya dibuka kewajiban-kewajiban (dalam Islam), terikat sumpah-sumpah, perlindungan dari setan, serta dengan nama-Nya dibuka dan ditutup segala sesuatu. Maka maha suci nama-Nya dan tiada sembahan yang benar selain-Nya”[24].
Pendapat ini juga dikuatkan oleh syaikh al-Albani[25] dan syaikh ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr, bahkan syaikh ‘Abdur Razzaq mengatakan pendapat inilah yang terkenal di kalangan para ulama dan lebih dekat dengan dalil-dalil dari al-Qur-an dan as-Sunnah, beliau juga menjelaskan bahwa nama “Allah” disebutkan dalam semua hadits yang mengisyaratkan nama Allah U yang paling agung[26].
Pendapat kedua: nama-Nya yang paling agung adalah “al-Hayyu al-Qayyum” (Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri dan menegakkan semua makhluk-Nya)
Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa ulama, seperti al-Qasim bin ‘Abdur Rahman ad-Dimasyqi[27], murid shahabat Abu Umamah t, imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah[28] dan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin[29].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya sifat (Allah Ta’ala) al-hayat (maha hidup) mengandung dan meliputi semua sifat kesempurnaan, sedangkan sifat al-qayyumiyah (maha berdiri sendiri dan menegakkan semua makhluk-Nya) mengandung semua sifat perbuatan Allah. Oleh karena itu, nama Allah yang paling agung yang jika seseorang berdoa kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah akan mengabulkan (doanya), dan jika dia meminta kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah akan memenuhi (permintaannya) adalah nama-Nya “al-Hayyu al-Qayyum”[30].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Kedua nama ini (“al-Hayyu al-Qayyum”) adalah nama Allah yang paling agung yang jika seseorang berdoa kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah akan mengabulkan (doanya). Oleh karena itu, sepatutnya bagi seorang hamba ketika berdoa (kepada Allah Ta’ala) untuk bertawasul (menjadikan perantara untuk memudahkan dikabulkannya doa) dengan nama Allah ini, dengan mengatakan: “Wahai al-Hayyu al-Qayyum (wahai Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri dan menegakkan semua makhluk-Nya)”[31].
Pendapat ketiga: nama-Nya yang paling agung adalah nama-nama-Nya yang mengandung semua sifat-sifat kesempurnaan dan kemuliaan-Nya, jadi bukanlah yang dimaksud satu nama Allah Ta’ala yang tertentu.
Pendapat ini yang dipilih dan dikuatkan oleh syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di, beliau berkata, “Sesungguhnya nama Allah yang paling agung adalah jenis (dari nama-nama Allah Ta’ala ) dan bukanlah yang dimaksud satu nama tertentu. Karena sesungguhnya nama-nama Allah (yang maha indah) ada dua macam:
- Yang pertama: nama-nama-Nya yang (hanya) mengandung satu atau dua sifat, atau sifat-sifat yang terbatas.
- Yang kedua: nama-nama-Nya yang menunjukkan semua sifat-sifat kesempurnaan milik Allah, dan mengandung sifat-sifat keagungan, kemuliaan dan keindahan.
Jenis kedua inilah yang merupakan nama-Nya yang paling agung, karena nama-nama ini menunujukkan berbagai makna yang paling agung dan paling luas.
Maka nama “Allah” adalah (termasuk) nama-Nya yang paling agung, demikian pula nama-Nya “ash-Shamad” (Yang Maha Sempurna dan bergantung kepada-Nya segala sesuatu), demikian pula “al-Hayyu al-Qayyum”, “al-Hamiid al-Majiid” (Yang Maha Terpuji lagi Mulia), “al-Kabiir al-’Azhiim” (Yang Maha Besar dab Agung), dan “al-Muhiith” (Yang Maha Meliputi semua makhluk-Nya)”[32].
Di kitab lain, beliau berkata: “Nama Allah yang paling agung di antara nama-nama-Nya adalah semua nama yang disebutkan tersendiri (dalam al-Qur-an dan hadits Rasulullah r) atau digandengkan dengan nama-Nya yang lain, jika nama tersebut menunjukkan semua sifat dzaatiyyah (berhubungan dengan zat-Nya dan terus-menurus ada) dan fi’liyyah (berhubungan dengan perbuatan-Nya yang terjadi sesuai dengan kehendak-Nya) milik Allah, atau menunjukkan makna semua sifat-Nya.
Seperti nama-Nya “Allah” yang menghimpun semua makna al-uluhiyyah (hak untuk disembah dan diibadahi) secara keseluruhan, yang merupakan semua sifat kesempurnaan-Nya.
Maka dengan ini kita ketahui bahwa nama Allah yang paling agung adalah jenis (dari nama-nama Allah Ta’ala), dan pendapat inilah yang ditunjukkan dalam dalil-dalil syariat (al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[33].
Kesimpulan dan penutup
Ketiga pendapat di atas masing-masing memiliki argumentasi yang kuat dan dipilih oleh para ulama Ahlus sunnah yang terpercaya. Meskipun secara pribadi, penulis lebih cenderung memilih pendapat yang ketiga, karena pendapat inilah yang menghimpun semua dalil dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang nama Allah yang paling agung, Wallahu a’lam[34].
Bagi kita yang ingin berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang paling agung, yang paling baik dan utama adalah dengan mengucapkan lafazh doa yang kami sebutkan dalam hadits pertama dan kedua di atas, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang menyampaikan bahwa doa tersebut mengandung nama Allah yang paling agung, yang jika seseorang berdoa kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah akan mengabulkan (doanya), dan jika dia meminta kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah akan memenuhi (permintaannya).
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya untuk memahami dengan benar sifat-sifat keagungan-Nya, yang dengan itu kita akan mencapai keimanan dan ketakwaan yang sempurna kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 24 Dzulqa’dah 1431 H
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/86).
[2] Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/86).
[3] Lihat kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/178).
[4] HSR al-Bukhari (no. 71) dan Muslim (no. 1037).
[5] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 7).
[6] Ibid (hal. 71).
[7] Kitab “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 16).
[8] HR Ahmad (3/245 dan 3/265), Abu Dawud (no. 1493 dan 1494), at-Tirmidzi (no. 3475), Ibnu Majah (no. 3857) dan Ibnu Hibban (no. 893), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
[9] HR Ahmad (5/360), Abu Dawud (no. 1495), an-Nasa-i (no. 1300), at-Tirmidzi (no. 3544), Ibnu Majah (no. 3858), Ibnu Hibban (no. 892) dan al-Hakim (no. 1858 dan 1859), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi, serta dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim dan Syaikh al-Albani.
[10] HR Ibnu Majah (no. 3856) dan al-Hakim (no. 1861), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam “ash-Shahiihah” (no. 746).
[11] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 70).
[12] HSR al-Bukhari (no. 3022 dan 7115) dan Muslim (no. 2751).
[13] Kitab “Majmu’ul fataawa” (17/211-212).
[14] HSR al-Bukhari (no. 4726, 4727 dan 6267) dan Muslim (no. 811).
[15] Sebagaimana dalam HSR Muslim (no. 810) dari Ubai bin Ka’b t.
[16] Kitab “Syifa-ul ‘aliil” (hal. 272).
[17] Kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/164-165).
[18] Kitab “Tuhfatudz dzaakiriin” (hal. 79).
[19] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 72).
[20] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 73).
[21] Dinukil oleh imam Ibnu Abi Syaibah dalam kitab “al-Mushannaf” (7/234, no. 35612). Jabir bin Zaid adalah imam besar dari kalangan Tabi’in yang terkenal dengan kunyah beliau “Abu asy-Sya’tsaa’ dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 136).
[22] Ibid. Beliau adalah imam besar yang terkenal dari kalangan Tabi’in, sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 287).
[23] Dalam kitab beliau “at-Tauhid” (2/21). Beliau adalah Muhammad bin Yahya bin Mandah al-Ashbahani, imam besar dan penghafal hadits yang ternama. Biografi beliau dalam “Siyaru a’laamin nubalaa’” (14/188).
[24] Ibid.
[25] Dalam “ash-Shahiihah” (no. 2/371).
[26] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 72-73).
[27] Dinukil oleh imam al-Hakim dalam kitab “al-Mustadrak” (1/684). Biografi al-Qasim bin ‘Abdur Rahman dalam kitab “Tahdziibul kamaal’ (23/383).
[28] Dalam kitab beliau “Zaadul ma’aad” (4/185).
[29] Dalam kitab beliau ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/166).
[30] Kitab “Zaadul ma’aad” (4/185).
[31] Dalam kitab beliau ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/166).
[32] Kitab “Fathul Malikil ‘Allaam” (hal. 26-27).
[33] Kitab “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 16-17).
[34] Lihat catatan kaki kitab “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 17).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar