Oleh
Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
Asy-Syaikh Ahmad bin Abdul Hamid Al-Abbasi rahimahullahu, yang wafat pada abad kesepuluh hijriyah, berkata dalam kitab beliau ‘Umdatul Al-Akhbar Fi Madinaatil Mukhtar (hal.124) : “Pada tahun 678H, Sultan Raja Al-Manshur Qalawun ash-Shalihi, ayah dari sultan Raja An-Nashir Muhammad bin Qalawun, memerintahkan agar kubah dibangun diatas kamar yang mulia tersebut, tepatnya di atas atap masjid. Dibangun dengan batu bata merah setinggi setengah badan, agar bisa dibedakan antara atap kamar yang mulia ini dan atap masjid di sekitarnya yang juga dibangun dengan batu bata merah, maka diselesaikanlah kubah ini seperti yang terlihat sekarang ini …. dst. Sampai akhir perkataan beliau rahimahullahu.
Zainuddin Al-Maraghi, yang wafat pada tahun 810H, berkata dalam kitab beliau Tahqiqun Nushrah bi Talkhishi Ma’alami Daril Hiijrah (hal. 81): “Ketahuilah, tidak ada kubah yang dibangun di atas kamar baik sebelum dan sesudah masjid Nabawi terbakar, bahkan tidak ada di sekitar kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa atap setinggi setengah badan yang dibangun dengan batu bata merah untuk membedakan antara kamar Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan atap di sekitarnya, hingga kemudian dibangun pada tahun 678H di zaman pemerintahan Al-Manshur Qalawun Ash-Shalihi…. dst”. Sampai akhir perkataan beliau rahimahullahu.
Senada dengan di atas, adalah yang diungkapkan oleh As-Samhudi, yang wafat pada tahun 911H, dalam kitab beliau Wafa’ul Wafa (2/609)
PENGINGKARAN ULAMA TERHADAP BANGUNAN KUBAH
Tidak diragukan lagi bahwa para ulama –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka- mengingkari apa-apa yang diharamkan oleh syariat agama. Sebagian mereka menegaskan pengingkaran ini, dan sebagian lagi memilih jalan diam karena mereka menyadari tidak ada gunanya berdebat dan memperpanjang masalah. Atau bisa jadi mereka ingin bersikap ramah dengan jalan diam ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Seandainya bukan karena kaummu yang baru saja terlepas dari kekafiran, niscaya aku akan mendirikan rumah di atas pondasi-pondasi (yang dibangun) Ibrahim (sebelumnya)”.
Sudah diketahui sebelumnya bahwa mereka yang mengingkari hal ini telah melaksanakan kewajiban yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan memberikan nasihat demi Islam dan kaum muslimin sendiri. Berikut ini di antara mereka yang mengingkarinya, sebagai berikut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam kitab beliau Iqtidha’ush Shirathil Mustaqim : ‘Karena itu, ketika kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangun di zaman tabi’in –demi ayah dan ibu Rasulullah- mereka pun membiarkan atapnya berlubang, dan sampai sekarang masih seperti itu. Diletakkan diatasnya lilin dan di ujungnya ada batu sebagai penyanggahnya, sedang langit tampak dari bawah. Itu dibangun setelah masjid Nabawi dan mimbarnya terbakar di tahun enam ratus lima puluhan hijriyah, di mana api muncul di wilayah Hijaz yang disebabkan sekawanan unta di Bushra, lalu datanglah serangan pasukan Tartar di Baghdad dan wilayah-wilayah lainnya. Setelah itu masjid Nabawi berserta atapnya dibangun kembali seperti semula, tetapi di seklitar kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangun dinding dari kayu. Kemudian selang beberapa tahun dibangunlah kubah di atas atap tersebut, namun pembangunan ini ditentang oleh orang-orang yang mengingkarinya”.
Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Tathhirul I’tiqad : “Jika anda mengatakan bahwa kuburan Rasulullah ini saja telah dibangun kubah yang besar di atasnya dengan dukungan dan dan harta, maka aku berkata : “Inilah kebodohan besar akan hakikat peristiwa sebenarnya, karena kubah ini bukan dibangun oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula para sahabatnya ataupun tabi’in ataupun tabi’it tabi’in, bahkan para ulama dan pemimpin agama. Akan tetapi ia merupakan bangunan penguasa Mesir belakangan, yaitu Qalawun Ash-Shalihi yang lebih dikenal dengan Raja Al-Manshur pada tahun 678H. Jadi, masalah ini sifatnya politis, bukan dalil yang dapat dijadikan pegangan”.
Asy-Syaikh Husein bin Mahdi An-Na’ami, dalam kitab beliau Ma’arijul Al-Bab, mengemukakan pernyataan sebagian mufti yang berhujjah dengan kubah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atas dibolehkannya membangun kubah di atas kuburan, maka sang mufti berkata, “Sudah diketahui sebelumnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kubah, begitu pula para pemimpin Madinah serta negeri-negeri yang lainnya. Kubah tersebut diziarahi setiap waktu dan diyakini mendatangkan berkah” Oleh karena itu, Syaikh Husein rahimahullhu berkata : Aku menyatakan, jika memang demikian adanya, maka bagaimana dengan peringatan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau mengingatkan serta menyatakan bebasnya diri beliau?! Lalu kalian nyata-nyata mengerjakana apa yang dilarang oleh Rasulullah, apakah ini tidak cukup bagi kalian sebagai pelanggaran terhadap perintah Rasulullah, dan sikap perlawanan atas diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?! Apakah Rasulullah pernah menganjurkan hal seperti ini, sekalipun dengan isyarat, atau beliau ridha atau beliau tidak melarangnya?! Adapun keyakinan kalian akan turunnya berkah, maka itu menurut kalian dan bukan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala! Jadi perihal berkah ini sebagai bantahan terhadap kalian”.
Demikianlah, dan saudara-saudara kita –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka- pernah bertekad untuk merubuhkan kubah ini ketika mereka datang ke Madinah saat Raja Abdul Aziz rahimahullahu memerintah. Mereka hamper sala melakukannya, sekiranya mereka tidak khawatir kalau-kalau terjadi fitnah yang lebih besar dari para quburiyyun dibanding merubuhkan kubah tersebut, yang pada akhirnya menyebabkan kemungkaran yang lebih dahsyat. Lalau berapa banyak dakwaan-dakwaan batil yang akan dilontarkan oleh para quburiyyun sekiranay diserukan penghancuran kubah-kubah tersebut, yang sebagiannya sudah menyerupai sembahan Lata, Uzza dan Hubal.
[Disalin dari kitab edisi Indonesia Bantahan terhadap Musuh Sunnah, Penulis Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Penerjemah Munawwir A Djasari, Penerbit Pustaka Azzam, Pebruari 2003]
Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
Asy-Syaikh Ahmad bin Abdul Hamid Al-Abbasi rahimahullahu, yang wafat pada abad kesepuluh hijriyah, berkata dalam kitab beliau ‘Umdatul Al-Akhbar Fi Madinaatil Mukhtar (hal.124) : “Pada tahun 678H, Sultan Raja Al-Manshur Qalawun ash-Shalihi, ayah dari sultan Raja An-Nashir Muhammad bin Qalawun, memerintahkan agar kubah dibangun diatas kamar yang mulia tersebut, tepatnya di atas atap masjid. Dibangun dengan batu bata merah setinggi setengah badan, agar bisa dibedakan antara atap kamar yang mulia ini dan atap masjid di sekitarnya yang juga dibangun dengan batu bata merah, maka diselesaikanlah kubah ini seperti yang terlihat sekarang ini …. dst. Sampai akhir perkataan beliau rahimahullahu.
Zainuddin Al-Maraghi, yang wafat pada tahun 810H, berkata dalam kitab beliau Tahqiqun Nushrah bi Talkhishi Ma’alami Daril Hiijrah (hal. 81): “Ketahuilah, tidak ada kubah yang dibangun di atas kamar baik sebelum dan sesudah masjid Nabawi terbakar, bahkan tidak ada di sekitar kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa atap setinggi setengah badan yang dibangun dengan batu bata merah untuk membedakan antara kamar Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan atap di sekitarnya, hingga kemudian dibangun pada tahun 678H di zaman pemerintahan Al-Manshur Qalawun Ash-Shalihi…. dst”. Sampai akhir perkataan beliau rahimahullahu.
Senada dengan di atas, adalah yang diungkapkan oleh As-Samhudi, yang wafat pada tahun 911H, dalam kitab beliau Wafa’ul Wafa (2/609)
PENGINGKARAN ULAMA TERHADAP BANGUNAN KUBAH
Tidak diragukan lagi bahwa para ulama –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka- mengingkari apa-apa yang diharamkan oleh syariat agama. Sebagian mereka menegaskan pengingkaran ini, dan sebagian lagi memilih jalan diam karena mereka menyadari tidak ada gunanya berdebat dan memperpanjang masalah. Atau bisa jadi mereka ingin bersikap ramah dengan jalan diam ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Seandainya bukan karena kaummu yang baru saja terlepas dari kekafiran, niscaya aku akan mendirikan rumah di atas pondasi-pondasi (yang dibangun) Ibrahim (sebelumnya)”.
Sudah diketahui sebelumnya bahwa mereka yang mengingkari hal ini telah melaksanakan kewajiban yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan memberikan nasihat demi Islam dan kaum muslimin sendiri. Berikut ini di antara mereka yang mengingkarinya, sebagai berikut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam kitab beliau Iqtidha’ush Shirathil Mustaqim : ‘Karena itu, ketika kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangun di zaman tabi’in –demi ayah dan ibu Rasulullah- mereka pun membiarkan atapnya berlubang, dan sampai sekarang masih seperti itu. Diletakkan diatasnya lilin dan di ujungnya ada batu sebagai penyanggahnya, sedang langit tampak dari bawah. Itu dibangun setelah masjid Nabawi dan mimbarnya terbakar di tahun enam ratus lima puluhan hijriyah, di mana api muncul di wilayah Hijaz yang disebabkan sekawanan unta di Bushra, lalu datanglah serangan pasukan Tartar di Baghdad dan wilayah-wilayah lainnya. Setelah itu masjid Nabawi berserta atapnya dibangun kembali seperti semula, tetapi di seklitar kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangun dinding dari kayu. Kemudian selang beberapa tahun dibangunlah kubah di atas atap tersebut, namun pembangunan ini ditentang oleh orang-orang yang mengingkarinya”.
Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Tathhirul I’tiqad : “Jika anda mengatakan bahwa kuburan Rasulullah ini saja telah dibangun kubah yang besar di atasnya dengan dukungan dan dan harta, maka aku berkata : “Inilah kebodohan besar akan hakikat peristiwa sebenarnya, karena kubah ini bukan dibangun oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula para sahabatnya ataupun tabi’in ataupun tabi’it tabi’in, bahkan para ulama dan pemimpin agama. Akan tetapi ia merupakan bangunan penguasa Mesir belakangan, yaitu Qalawun Ash-Shalihi yang lebih dikenal dengan Raja Al-Manshur pada tahun 678H. Jadi, masalah ini sifatnya politis, bukan dalil yang dapat dijadikan pegangan”.
Asy-Syaikh Husein bin Mahdi An-Na’ami, dalam kitab beliau Ma’arijul Al-Bab, mengemukakan pernyataan sebagian mufti yang berhujjah dengan kubah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atas dibolehkannya membangun kubah di atas kuburan, maka sang mufti berkata, “Sudah diketahui sebelumnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kubah, begitu pula para pemimpin Madinah serta negeri-negeri yang lainnya. Kubah tersebut diziarahi setiap waktu dan diyakini mendatangkan berkah” Oleh karena itu, Syaikh Husein rahimahullhu berkata : Aku menyatakan, jika memang demikian adanya, maka bagaimana dengan peringatan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau mengingatkan serta menyatakan bebasnya diri beliau?! Lalu kalian nyata-nyata mengerjakana apa yang dilarang oleh Rasulullah, apakah ini tidak cukup bagi kalian sebagai pelanggaran terhadap perintah Rasulullah, dan sikap perlawanan atas diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?! Apakah Rasulullah pernah menganjurkan hal seperti ini, sekalipun dengan isyarat, atau beliau ridha atau beliau tidak melarangnya?! Adapun keyakinan kalian akan turunnya berkah, maka itu menurut kalian dan bukan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala! Jadi perihal berkah ini sebagai bantahan terhadap kalian”.
Demikianlah, dan saudara-saudara kita –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka- pernah bertekad untuk merubuhkan kubah ini ketika mereka datang ke Madinah saat Raja Abdul Aziz rahimahullahu memerintah. Mereka hamper sala melakukannya, sekiranya mereka tidak khawatir kalau-kalau terjadi fitnah yang lebih besar dari para quburiyyun dibanding merubuhkan kubah tersebut, yang pada akhirnya menyebabkan kemungkaran yang lebih dahsyat. Lalau berapa banyak dakwaan-dakwaan batil yang akan dilontarkan oleh para quburiyyun sekiranay diserukan penghancuran kubah-kubah tersebut, yang sebagiannya sudah menyerupai sembahan Lata, Uzza dan Hubal.
[Disalin dari kitab edisi Indonesia Bantahan terhadap Musuh Sunnah, Penulis Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Penerjemah Munawwir A Djasari, Penerbit Pustaka Azzam, Pebruari 2003]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar