Sikap Seorang Muslim Terhadap Perbedaan Madzhab
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap perbedaan-perbedaan madzhab yang menyebar di berbagai golongan dan kelompok?
Jawaban:
Yang wajib baginya adalah memegang yang haq, yaitu yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah RasulNya serta loyal terhadap yang haq dan mempertahankannya. Setiap golongan atau madzhab yang bertentangan dengan yang haq, maka ia wajib berlepas diri darinya dan tidak menyepakatinya.
Agama Allah hanya satu, yaitu jalan yang lurus, yakni beribadah hanya kepada Allah semata dan mengikuti RasulNya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam Maka yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah memegang yang haq dan konsisten dalam melaksanakannya, yaitu mentaati Allah dan mengikuti syari'atNya yang telah diajarkan oleh Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, disertai ikhlas karena Allah dalam melaksanakannya dan tidak memalingkan ibadah sedikit pun kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena itu, setiap madzhab yang menyelisihi yang haq dan setiap golongan yang tidak menganut aqidah ini, harus dijauhi dan harus berlepas diri darinya serta mengajak para penganutnya untuk kembali kepada yang haq dengan mengungkapkan dalil-dalil syar'iyyah yang disertai kelembutan dan menggunakan metode yang tepat sambil menasehati yang haq pada mereka dengan kesabaran.
[Majmu' Fatawwa wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 5, hal. 157-158, Syaikh Ibnu Baz]
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap perbedaan-perbedaan madzhab yang menyebar di berbagai golongan dan kelompok?
Jawaban:
Yang wajib baginya adalah memegang yang haq, yaitu yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah RasulNya serta loyal terhadap yang haq dan mempertahankannya. Setiap golongan atau madzhab yang bertentangan dengan yang haq, maka ia wajib berlepas diri darinya dan tidak menyepakatinya.
Agama Allah hanya satu, yaitu jalan yang lurus, yakni beribadah hanya kepada Allah semata dan mengikuti RasulNya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam Maka yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah memegang yang haq dan konsisten dalam melaksanakannya, yaitu mentaati Allah dan mengikuti syari'atNya yang telah diajarkan oleh Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, disertai ikhlas karena Allah dalam melaksanakannya dan tidak memalingkan ibadah sedikit pun kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena itu, setiap madzhab yang menyelisihi yang haq dan setiap golongan yang tidak menganut aqidah ini, harus dijauhi dan harus berlepas diri darinya serta mengajak para penganutnya untuk kembali kepada yang haq dengan mengungkapkan dalil-dalil syar'iyyah yang disertai kelembutan dan menggunakan metode yang tepat sambil menasehati yang haq pada mereka dengan kesabaran.
[Majmu' Fatawwa wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 5, hal. 157-158, Syaikh Ibnu Baz]
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
MENGOLEKSI BUKU TAPI TIDAK MEMBACANYA
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Saya seorang laki-laki yang memiliki banyak buku yang bermanfaat, alhamdulillah, termasuk juga buku-buku rujukan (mara-ji'), tapi saya tidak membacanya kecuali memilih-milih sebagiannya. Apakah saya berdosa karena mengoleksi buku-buku tersebut di rumah, sementara, ada beberapa orang yang meminjam sebagian buku-buku tersebut untuk dimanfaatkan lalu dikembalikan lagi?
Jawaban.
Tidak ada dosa bagi seorang muslim untuk mengoleksi buku-buku yang bermanfaat dan merawatnya di perpustakaan pribadinya sebagai bahan rujukan dan untuk mengambil manfaatnya serta untuk dipergunakan oleh orang lain yang mengun-junginya sehingga bisa ikut memanfaatkannya. Dan tidak berdosa jika ia tidak membaca sebagian besar buku-bukunya tersebut. Tentang meminjamkannya kepada orang-orang yang dipercaya bisa memanfaatkannya, hal ini disyari'atkan di samping sebagai sikap mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena dalam hal ini berarti memberikan bantuan untuk diperolehnya ilmu, dan ini termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa." [Al-Ma'idah : 2]
Juga termasuk dalam cakupan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Dan Allah senantiasa menolong hambaNya selama hamba itu menolong saudaranya." [Hadits Riwayat Bukhari dalam Ad-Dzikir 2669]
[Fatwa Hai’ah Kibarik Ulama, juz 2, hal. 969, Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq
------------------------------------------------------------------------------
Bilakah Diakuinya Perbedaan Pendapat
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapan diakuinya perbedaan pendapat dalam masalah agama ? Apakah perbedaan pendapat terjadi pada setiap masalah atau hanya pada masalah-masalah tertentu? Kami mohon penjelasan.
Jawaban.
Pertama-tama perlu diketahui, bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama umat Islam ini adalah yang terlahir dari ijtihad, karena itu, tidak membahayakan bagi yang tidak mencapai kebenaran. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Jika seorang hakim memutuskan lalu berijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jika ia memutuskan lalu berijtihad kemudian salah, maka ia mendapat satu pahala."[1]
Maka, bagi yang telah jelas baginya yang benar, maka ia wajib mengikutinya.
Perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama umat Islam tidak boleh menyebabkan perbedaan hati, karena perbedaan hati bisa menimbulkan kerusakan besar, sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguh-nya Allah beserta orang-orang yang sabar." [Al-Anfal : 46]
Perbedaan pendapat yang diakui oleh para ulama, yang kadang dinukil (dikutip) dan diungkapkan, adalah perbedaan pendapat yang kredibel dalam pandangan. Adapun perbedaan pendapat di kalangan orang-orang awam yang tidak mengerti dan tidak memahami, tidak diakui. Karena itu, hendaknya orang awam merujuk kepada ahlul ilmi, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." [An-Nahl : 43]
Kemudian pertanyaan penanya, apakah perbedaan ini terjadi dalam setiap masalah? Jawabnya: Tidak demikian. Perbedaan ini hanya pada sebagian masalah. Sebagian masalah disepakati, tidak ada perbedaan, alhamdulillah, tapi sebagian lainnya ada perbedaan pendapat karena hasil ijtihad, atau sebagian orang lebih tahu dari yang lainnya dalam menganalisa nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Di sinilah terjadinya perbedaan pendapat. Adapun dalam masalah-masalah pokok, sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat.
[Dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Al-I'tisham (7325).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapan diakuinya perbedaan pendapat dalam masalah agama ? Apakah perbedaan pendapat terjadi pada setiap masalah atau hanya pada masalah-masalah tertentu? Kami mohon penjelasan.
Jawaban.
Pertama-tama perlu diketahui, bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama umat Islam ini adalah yang terlahir dari ijtihad, karena itu, tidak membahayakan bagi yang tidak mencapai kebenaran. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Jika seorang hakim memutuskan lalu berijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jika ia memutuskan lalu berijtihad kemudian salah, maka ia mendapat satu pahala."[1]
Maka, bagi yang telah jelas baginya yang benar, maka ia wajib mengikutinya.
Perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama umat Islam tidak boleh menyebabkan perbedaan hati, karena perbedaan hati bisa menimbulkan kerusakan besar, sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguh-nya Allah beserta orang-orang yang sabar." [Al-Anfal : 46]
Perbedaan pendapat yang diakui oleh para ulama, yang kadang dinukil (dikutip) dan diungkapkan, adalah perbedaan pendapat yang kredibel dalam pandangan. Adapun perbedaan pendapat di kalangan orang-orang awam yang tidak mengerti dan tidak memahami, tidak diakui. Karena itu, hendaknya orang awam merujuk kepada ahlul ilmi, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." [An-Nahl : 43]
Kemudian pertanyaan penanya, apakah perbedaan ini terjadi dalam setiap masalah? Jawabnya: Tidak demikian. Perbedaan ini hanya pada sebagian masalah. Sebagian masalah disepakati, tidak ada perbedaan, alhamdulillah, tapi sebagian lainnya ada perbedaan pendapat karena hasil ijtihad, atau sebagian orang lebih tahu dari yang lainnya dalam menganalisa nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Di sinilah terjadinya perbedaan pendapat. Adapun dalam masalah-masalah pokok, sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat.
[Dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Al-I'tisham (7325).
----------------------------------------------------------------------------------
Bagaimanakah Sikap Kita terhadap Perselisihan Yang Terjadi Di Antara Ahlus Sunnah ?
Oleh
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah
Pertanyaan
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : Fadhilatus Syaikh, bagaimanakah sikap kita terhadap perselisihan yang terjadi antara ikhwah salafiyyin -khususnya- perselisihan yang terjadi di Indonesia?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam serta keberkahan semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya sampai hari kiaman, amma badu:
Sesungguhnya Kewajiban Seorang Muslim Adalah :
[1]. Mengetahui al-haq dan membelanya, inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah (keilmuan) ataupun masalah amaliyah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnya
Kewajiban seorang muslim -khususnya penuntut ilmu-, yang pertama adalah mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya, maka apabila terjadi perselisihan dalam suatu masalah, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu syar'i yang bermanfaat untuk mengetahui yang haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu dalam masalah-masalah ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.
[2]. Apabila perselisihan itu terjadi diantara Ahlus Sunnah, maka wajib baginya untuk bersabar terhadap ikhwan yang lain, serta tidak melakukan tindakan yang memecah belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, tapi jika perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentunya setiap mereka menginginkan yang haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam menghadapi ikhwan yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah, wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban yang pertama adalah mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada?
[3]. Kemudian dia menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat diatas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah:
"Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat maruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia". [An-Nisaa :114]
Maka kewajiban seorang muslim adalah untuk menjadi terwujudnya sebab perdamaian dan kunci kebaikan
[4]. Tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil/menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.
[5]. Bersikap wasath antara ahli ghuluw (berlebih-lebihan) yang menghitung (membesar-besarkan) setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak, bahkan mungkin menganggapnya sebagai ahlul bidah atau mengkafirkannya, dan dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/meremehkan), yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini adalah mudahanah, tapi maksudnya adalah untuk mendekatkan sudut pandang antara ikhwah di atas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka terhadap ikhwah
[6]. Jika dia menjauhkan diri dari perselisihan yang terjadi karena dia memandang dalam perselisihan itu terdapat fitnah dan kejelekan, maka sikap ini lebih baik, dan usaha dia adalah hanya untuk mendamaikan, bukan malah menjadi pemicu perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan
[7]. Jika dia melihat yang al-haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah di berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, karena inilah sikap seorang muslim. Adapun perselisihan yang terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya- adalah perselisihan antara ikhwah dalam masalah-masalah -yang kita anggap insya Allah- setiap pihak yang berselisih menginginkan yang haq, khususnya mereka itu termasuk Ahlus Sunnah, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya, sebagaimana tidak setiap kesalahan itu disengaja. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan, maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.
Tidaklah pantas sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita terhadap Ahlul Bidah yang menyeleweng dalam masalah aqidah dan yang lainnya, karena Ahlus Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi terkadang berbeda sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri serta berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan dirinya agar tidak menjadi sebab bertambahnya perselisihan, bahkan seharusnya dia menjadi sebab terjadinya penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia bersikap seperti itu, maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kepada Allah agar memberikan taufiq pada semua.
[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah
Pertanyaan
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : Fadhilatus Syaikh, bagaimanakah sikap kita terhadap perselisihan yang terjadi antara ikhwah salafiyyin -khususnya- perselisihan yang terjadi di Indonesia?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam serta keberkahan semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya sampai hari kiaman, amma badu:
Sesungguhnya Kewajiban Seorang Muslim Adalah :
[1]. Mengetahui al-haq dan membelanya, inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah (keilmuan) ataupun masalah amaliyah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnya
Kewajiban seorang muslim -khususnya penuntut ilmu-, yang pertama adalah mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya, maka apabila terjadi perselisihan dalam suatu masalah, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu syar'i yang bermanfaat untuk mengetahui yang haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu dalam masalah-masalah ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.
[2]. Apabila perselisihan itu terjadi diantara Ahlus Sunnah, maka wajib baginya untuk bersabar terhadap ikhwan yang lain, serta tidak melakukan tindakan yang memecah belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, tapi jika perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentunya setiap mereka menginginkan yang haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam menghadapi ikhwan yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah, wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban yang pertama adalah mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada?
[3]. Kemudian dia menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat diatas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah:
"Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat maruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia". [An-Nisaa :114]
Maka kewajiban seorang muslim adalah untuk menjadi terwujudnya sebab perdamaian dan kunci kebaikan
[4]. Tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil/menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.
[5]. Bersikap wasath antara ahli ghuluw (berlebih-lebihan) yang menghitung (membesar-besarkan) setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak, bahkan mungkin menganggapnya sebagai ahlul bidah atau mengkafirkannya, dan dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/meremehkan), yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini adalah mudahanah, tapi maksudnya adalah untuk mendekatkan sudut pandang antara ikhwah di atas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka terhadap ikhwah
[6]. Jika dia menjauhkan diri dari perselisihan yang terjadi karena dia memandang dalam perselisihan itu terdapat fitnah dan kejelekan, maka sikap ini lebih baik, dan usaha dia adalah hanya untuk mendamaikan, bukan malah menjadi pemicu perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan
[7]. Jika dia melihat yang al-haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah di berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, karena inilah sikap seorang muslim. Adapun perselisihan yang terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya- adalah perselisihan antara ikhwah dalam masalah-masalah -yang kita anggap insya Allah- setiap pihak yang berselisih menginginkan yang haq, khususnya mereka itu termasuk Ahlus Sunnah, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya, sebagaimana tidak setiap kesalahan itu disengaja. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan, maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.
Tidaklah pantas sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita terhadap Ahlul Bidah yang menyeleweng dalam masalah aqidah dan yang lainnya, karena Ahlus Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi terkadang berbeda sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri serta berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan dirinya agar tidak menjadi sebab bertambahnya perselisihan, bahkan seharusnya dia menjadi sebab terjadinya penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia bersikap seperti itu, maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kepada Allah agar memberikan taufiq pada semua.
[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]
-----------------------------------------------------------------------------------------
Dhowabith [Batasan-Batasan] Perselisihan Yang Diperbolehkan Dan Yang Tidak Diperbolehkan
Oleh
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah
Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : "Fadilatus Syaikh,...kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith (batasan-batasan) perselisihan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah : Perselisihan yang tidak mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup Ahlus Sunnah..?
Jawaban.
Perkara yang diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah : Permasalahan yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam masalah-masalah yang ma'lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan Salafus Shalih dalam masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah "apakah ahlul mahsyar (pada hari kiamat) melihat Rabb atau tidak?", apakah yang melihat Rabb itu kaum muminin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar semuanya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah perselisihan antara Ahlus Sunnah yang tidak mengakibatkan orang yang berselisih dihukumi sebagai Ahlul Bid'ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh Salaf, seperti perselisihan mereka tentang "hukum orang yang meninggalkan shalat", juga perselisihan mereka tentang "kafir tidaknya orang yang meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya" dan perselisihan mereka tentang "orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia meninggalkan salah satunya karena malas", semua permasalahan ini menjadi perselisihan dikalangan ulama Ahlus Sunnah, maka orang yang berpendapat dengan salah satu pendapat mereka tidaklah dihukumi sebagai Ahlul Bid'ah, walaupun kita yakin bahwa al-haq itu berada pada salah satu pendapat dari para ahli ijtihad, karena al-haq itu tidak mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur (ma'af) pada ikhwah kita yang berpendapat dengan pendapat yang ada pendahulunya dari Salaf, inilah batasan perselisihan yang diperbolehkan.
Adapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tidak mengetahui al-haq dalam banyak masalah, terkadang ada sebagian Ahlus Sunnah atau yang menisbatkan dirinya kepada sunnah berpendapat dengan sebagian pendapat Ahlul Bid'ah. Maka orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia termasuk Ahlus Sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama Salaf, mencintai Ahlus Sunnah dan ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan dia. Disini terkadang kita bisa mensifatinya dengan "kurang ilmu", tapi tidak mengeluarkan dia dari Ahlus Sunnah, karena yang namanya kesempurnaan adalah kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba'ah. Mereka menginginkan yang haq tapi terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai dengan sebagian pendapat Ahlul Bid'ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka adalah menyepakati Ahlul Bid'ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah yang benar. Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya kekurangan dalam ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai Ahlul Bid'ah, karena mereka menginginkan yang haq tapi salah dalam memahami nash.
Kaidah dalam masalah ini adalah bahwa setiap orang yang berijtihad berdasarkan pokok-pokok (tata cara) ijtihad Ahlus Sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tersebut dima'afkan -insya Allah, dan tidak boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bid'ah, karena sebagaimana kalian ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati sebagian pendapat Ahlul Bid'ah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asyariyyah dalam beberapa penakwilan-penakwilan mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka ini bersesuaian dengan Alul Bid'ah di dalam perkataan-perkataan mereka, tapi mereka tidak dinisbatkan kepada bid'ah, karena mereka pada dasarnya diatas pokok-pokok aqidah ahlus sunnah.
Orang yang hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup di negara yang jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yang betul-betul fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah, tapi jika mereka termasuk Ahlus Sunnah, maka kita berikan udzur (maaf) dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele atau ringan, tapi karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah hasil dari ijtihadnya. Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar kembali pada para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan perselisihan.
[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah
Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : "Fadilatus Syaikh,...kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith (batasan-batasan) perselisihan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah : Perselisihan yang tidak mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup Ahlus Sunnah..?
Jawaban.
Perkara yang diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah : Permasalahan yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam masalah-masalah yang ma'lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan Salafus Shalih dalam masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah "apakah ahlul mahsyar (pada hari kiamat) melihat Rabb atau tidak?", apakah yang melihat Rabb itu kaum muminin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar semuanya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah perselisihan antara Ahlus Sunnah yang tidak mengakibatkan orang yang berselisih dihukumi sebagai Ahlul Bid'ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh Salaf, seperti perselisihan mereka tentang "hukum orang yang meninggalkan shalat", juga perselisihan mereka tentang "kafir tidaknya orang yang meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya" dan perselisihan mereka tentang "orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia meninggalkan salah satunya karena malas", semua permasalahan ini menjadi perselisihan dikalangan ulama Ahlus Sunnah, maka orang yang berpendapat dengan salah satu pendapat mereka tidaklah dihukumi sebagai Ahlul Bid'ah, walaupun kita yakin bahwa al-haq itu berada pada salah satu pendapat dari para ahli ijtihad, karena al-haq itu tidak mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur (ma'af) pada ikhwah kita yang berpendapat dengan pendapat yang ada pendahulunya dari Salaf, inilah batasan perselisihan yang diperbolehkan.
Adapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tidak mengetahui al-haq dalam banyak masalah, terkadang ada sebagian Ahlus Sunnah atau yang menisbatkan dirinya kepada sunnah berpendapat dengan sebagian pendapat Ahlul Bid'ah. Maka orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia termasuk Ahlus Sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama Salaf, mencintai Ahlus Sunnah dan ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan dia. Disini terkadang kita bisa mensifatinya dengan "kurang ilmu", tapi tidak mengeluarkan dia dari Ahlus Sunnah, karena yang namanya kesempurnaan adalah kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba'ah. Mereka menginginkan yang haq tapi terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai dengan sebagian pendapat Ahlul Bid'ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka adalah menyepakati Ahlul Bid'ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah yang benar. Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya kekurangan dalam ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai Ahlul Bid'ah, karena mereka menginginkan yang haq tapi salah dalam memahami nash.
Kaidah dalam masalah ini adalah bahwa setiap orang yang berijtihad berdasarkan pokok-pokok (tata cara) ijtihad Ahlus Sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tersebut dima'afkan -insya Allah, dan tidak boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bid'ah, karena sebagaimana kalian ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati sebagian pendapat Ahlul Bid'ah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asyariyyah dalam beberapa penakwilan-penakwilan mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka ini bersesuaian dengan Alul Bid'ah di dalam perkataan-perkataan mereka, tapi mereka tidak dinisbatkan kepada bid'ah, karena mereka pada dasarnya diatas pokok-pokok aqidah ahlus sunnah.
Orang yang hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup di negara yang jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yang betul-betul fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah, tapi jika mereka termasuk Ahlus Sunnah, maka kita berikan udzur (maaf) dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele atau ringan, tapi karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah hasil dari ijtihadnya. Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar kembali pada para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan perselisihan.
[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]
--------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak Boleh Bagi Para Penuntut Ilmu Saling Menjelekkan [Jarh] Satu Sama Lain
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: “Bolehkah sebagian penuntut ilmu membiasakan : Menjelek-jelekkan satu sama lain serta menjauhkan dan memperingatkan manusia terhadap (penuntut ilmu) yang lain? â€
Jawaban.
Yang jelas perbuatan menjelek-jelekkan (jarh) oleh para ulama satu sama lain adalah perbuatan haram, bila seseorang tidak boleh mengghibah saudaranya mukmin walaupun bukan orang alim, maka bagaimana boleh meng-ghibah saudara-saudaranya yang beriman dari kalangan ulama??!
Kewajiban insan mukmin adalah menahan lisannya dari mengghibah saudara-saudaranya mukminin. Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.†[Al-Hujurat: 12]
Hendaknya orang yang ditimpa penyakit seperti ini (ghibah-pen) mengetahui bahwa jika ia menjarh seorang alim maka itu akan menjadi sebab ditolaknya kebenaran yang diucapkan oleh sang alim ini. Dan hendaknya ia juga mengetahui bahwa orang yang men-jarh seorang alim maka ia (sebenarnya) tidak men-jarh pribadinya, karena sesungguhnya ia telah menjelek-jelekkan warisan Rasulullah, karena sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Maka apabila para ulama telah di-jarh dan di "tikam" maka manusia tidak lagi mempercayai ilmu yang mereka miliki; yang merupakan warisan dari Rasulullah. Dan ketika itu, merekapun tidak lagi mempercayai syariat yang dibawa oleh sang alim yang telah di-jarh ini.
Dan saya tidak mengatakan bahwa setiap alim itu ma’shum (bersih dari kesalahan), karena setiap insan dapat terjatuh dalam kesalahan. Jika anda melihat satu kesalahan seorang alim menurut keyakinan anda, lalu anda menghubunginya dan mencoba saling memahamkan, jika ternyata yang haq adalah dia, anda wajib menerimanya. Dan jika anda menemukan perkataannya ternyata salah maka wajiblah anda membantah dan menjelaskan kesalahannya, karena mendiamkan kesalahan tidak diperbolehkan. Akan tetapi anda jangan men-jarhnya sementara ia adalah seorang alim yang dikenal dengan niat baiknya. Dan jika memungkinkan anda mengatakan: “Sebagian orang mengatakan begini dan begini padahal pendapat ini adalah lemah.†Kemudian anda menjelaskan sisi kelemahannya dan kebenaran pendapat yang anda lihat, (maka) ini tentu lebih baik dan utama.
Dan jika ingin men-jarh para ulama yang dikenal dengan niat baiknya disebabkan terpeleset dalam suatu kesalahan masalah agama, maka kita pasti akan men-jarh para ulama besar. Namun yang wajib (dilakukan) adalah seperti yang saya sebutkan. Bila anda melihat kesalahan dari seorang alim maka diskusikanlah dengannya. Jika anda yang benar maka ia harus mengikuti anda. Atau jika ternyata tidak jelas (pendapat yang benar) dan khilaf yang terjadi adalah khilaf yang dibenarkan maka saat itu anda harus menahan diri dan biarlah ia mengatakan pendapat yang ia katakan dan andapun mengatakan pendapat yang anda katakan.
Khilaf itu terjadi bukan pada masa ini saja, bahkan telah terjadi sejak masa sahabat hingga hari ini. Namun jika telah jelas yang salah akan tetapi ia tetap bersikeras membela pendapatnya, maka anda wajib memperingatkan kesalahan tersebut, bukan atas dasar menjatuhkan orang itu dan keinginan balas dendam, sebab mungkin ia mengatakan perkataan yang benar pada masalah lain selain yang anda diskusikan bersamanya.
Yang penting saya menasehati saudara-saudaraku untuk menjauhi musibah dan penyakit ini (meng-ghibah dan men-jarh –pen), saya mohon kepada Allah Ta’ala untuk diri saya dan mereka kesembuhan dari segala sesuatu yang dapat membuat kita tercela atau mencelakakan kita dalam agama dan dunia kita.
[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Bab VII, Perbedaan Pendapat (Khilaf) di Kalangan Ulama, Menuduh dan Merendahkan Para Dai, hal. 237-239, Terbitan Darul Haq]
------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak Ada Yang Perlu Dibingungkan Dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat Di Kalangan Para Ulama
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya mahasiswa tahun-tahun pertama di fakultas Syari'ah, kami banyak menemukan permasalahan yang mengandung perbedaan pendapat, dan terkadang pendapat yang rajih dalam sebagian masalah, ternyata bertolak belakang dengan sebagian pendapat ulama sekarang. Atau kadang kami menemukan masalah-masalah tapi tidak ada satu pun yang rajih, sehingga kami bingung dalam hal ini. Apa yang harus kami lakukan berkenaan dengan masalah yang mengandung perbedaan pendapat atau ketika kami ditanya oleh orang lain? Semoga Allah memberi kebaikan pada Syaikh.
Jawaban.
Pertanyaan semacam ini tidak hanya dialami oleh para penuntut ilmu syari'at, tapi merupakan masalah umum setiap orang. Jika seseorang mendapati perbedaan pendapat tentang suatu fatwa, ia akan kebingungan. Tapi sebenarnya tidak perlu dibingungkan, karena seseorang itu, jika mendapatkan fatwa yang berbeda, maka hendaknya ia mengikuti pendapat yang dipandangnya lebih mendekati kebenaran, yaitu berdasarkan keluasan ilmunya dan kekuatan imannya, sebagaimana jika seseorang sakit, lalu ada dua dokter yang memberikan resep berbeda, maka hendaknya ia mengikuti perkataan dokter yang dipandangnya lebih benar dalam memberikan resep obat. Jika ada dua pendapat yang dipandangnya sama, atau tidak dapat menguatkan salah satu pendapat yang berbeda itu, maka menurut para ulama, hendaknya ia mengikuti pendapat yang lebih tegas, karena itu lebih berhati-hati. Sebagian ulama lainnya mengatakan, hendaknya ia mengikuti yang lebih mudah, karena demikianlah dasar hukum dalam syari' at Islam. Ada juga yang berpendapat, boleh memilih di antara pendapat yang ada.
Yang benar adalah mengikuti yang mudah, karena hal itu sesuai dengan konsep mudahnya agama Islam, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." [Al-Baqarah: 185]
Dan firmanNya.
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan."[Al-Hajj: 78]
Serta sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Bersikap mudahlah kalian dan jangan mempersulit. "[1]
Lain dari itu, karena pada mulanya manusia adalah "bebas dari tanggung jawab" sehingga ada sesuatu yang mengubah status dasar ini. Kaidah ini berlaku bagi orang yang tidak dapat mengetahui yang haq dengan dirinya sendiri. Namun bagi yang bisa, seperti halnya thalib 'Urn (penuntut ilmu syar'i) yang bisa membaca pendapat-pendapat seputar masalah dimaksud, maka hendaknya memilih pendapat yang dipandangnya lebih benar berdasarkan dalil-dalil yang ada padanya. Dalam hal ini ia harus meneliti dan membaca untuk mengetahui pendapat yang lebih benar di antara pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh para ulama.
[Kitabud Da'Wah (5), haL. 45-47, SyaikH Ibnu Utsaimin]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. AI-Bukhari dalam Al-'Ilm (69).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar